Sistem Matrilineal Orang Boganatar, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka

BOLI, Oktavianus (2020) Sistem Matrilineal Orang Boganatar, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (602kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (460kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (470kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (490kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (672kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (591kB)

Abstract

Oktavianus Boli, Program Studi Filsafat Agama Katolik, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2020. Sistem Matrilineal Orang Boganatar Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Pembimbing I: Dr.Watu Yohanes Vianey,M.Hum, dan Pembimbing II: Rm.Dr. Herman Punda Panda. Pr Posisi yang dialami oleh kaum lelaki dalam sistem perkawinan matriarkat, dianggap sebagai pelayan bagi seluruh anggota keluarga si perempuan. Posisi laki-laki dalam masyarakat seperti ini dianggap sebagai “kelas dua atau dipinggirkan”. Hal ini nampak dalam 2 (dua) periode besar berdasarkan keberadaan sang istri, yakni selama sang istri masih hidup dan setelah sang istri meninggal dunia. Jadi, semuanya dapat ditunjukkan dalam penjelasan dibawah ini. Selama sang istri masih hidup, seorang laki-laki atau suami masih memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab besar dalam pelbagai bidang yang berhubungan dengan posisinya sebagai manusia “kelas dua”. Bagi masyarakat Boganatar sifat perkawinan yang popular hingga saat ini adalah perkawinan monogami, sebagaimana halnya dalam perkawinan Gereja Katolik tidak diperkenankan atau dilarang keras melakukan perzinahan dan poligami. Dalam perkawinan adat Boganatar, dikenal 2 (dua) tahap proses pernikahan adat. 1 Pertama, persiapan jangka pendek dan kedua, persiapan jangka panjang. Dahulu masyarakat Boganatar umumnya mengenal atau berlaku sistem perkawinan resmi dalam adat kebiasaan setempat. Pertama, anak saudara nenek dikawinkan dengan anak dari saudarinya (sir tion).2 Kedua, anak mengawini bekas istri pamannya (pun haga mamen). Ketiga, paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (pun meseng, mamen haga).3 Tujuan dari jenis perkawinan tersebut ialah agar semua harta benda dan kekayaan lainnya tidak keluar atau berada di tangan orang lain, melainkan hanya ada dalam 1 (satu) lingkup keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, maka model perkawinan demikian perlahan ditinggalkan sebab masyarakat beranggapan bahwa model perkawinan tersebut tidak baik. Kendati relasi perkawinan masyarakat Boganatar dahulu kala bersifat demikian, namun ada juga keunikan-keunikannya. Keunikan tersebut terdiri atas 4 (empat) tahap atau jenis upacara ritual sebelum perkawinan adat berlangsung. Pertama, neni roin uma ian a opi tege kare tua, neni manu muhun na mai deung nora manu aman (memohon dengan rendah hati/meminta menggarap kebun dan minta untuk memelihara anak ayam betina). Artinya, pihak laki-laki datang meminta keluarga yang memiliki anak perempuan atau anak gadis untuk di pinang. Kedua, wua ta’a tadan (tanda pengikat). Artinya larangan bagi keluarga perempuan untuk tidak boleh menerima lamaran dari pihak laki-laki lain. Dan juga si gadis tidak boleh menerima laki-laki lain selain pihak laki-laki yang melamar. Ketiga, wua ta’a gete (sirih pinang besar atau siri pinang resmi), artinya pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan berkumpul bersama di kediaman perempuan untuk meminang si gadis dengan saling menukar cincin dan diberi peneguhan oleh keluarga kedua belah pihak. Pada saat itu pula kedua mempelai resmi menjadi suami istri karena telah melalui perkawinan adat dan pernikahan Gereja. Sudah menjadi tradisi bahwa suatu perkawinan bisa terwujud jika ada kesepakatan dari kedua belah pihak baik secara pribadi maupun melibatkan keluarga besar. Untuk mencapai kesepakatan ini, keluarga kedua belah pihak biasanya berkumpul dan berunding untuk menentukan, apakah mereka menerima pasangan yang di pilih oleh salah satu anggota keluarga mereka. Mereka juga berunding untuk menentukan mahar yang menjadi penghargaan perkawinan adat. Secara harafiah, wua artinya pinang dan ta’a artinya sirih. Karena itu wuata’a berarti sirih pinang. Dalam keseharian orang Boganatar, wua ta’a adalah sebuah makanan suguhan terhadap para tamu atau sahabat kenalan. Wua ta’a ini merupakan sebuah makanan yang praktis dan mudah di dapat serta mempunyai harga yang relatif murah. Bahkan lebih dari itu wua ta’a sudah menjadi warisan tradisi 1Yoseph Ade (70 tahun), Tokoh Adat dan Kepala Suku Wulo, Wawancara, Boganatar 22 Juni 2019 2 Prudensia Hupar (70 tahun), Perempuan Adat Suku Lewar, Wawacara,Boganatar 20 Juli 2019. 3Veronika Wejor (53 tahun), Perempuan Adat, Wawancara, Boganatar 3 Juli 2019. ix bagi masyarakat Boganatar umumnya di mana setiap keluarga selalu menyediakan wua ta’a pada sebuah anyaman tradisional (berupa bakul kecil) yang biasa di sebut teli wua dan teli wua tapa. Dalam tradisi perkawinan adat, terdapat dua cara yang paling menonjol. Pertama, perkawinan adat menekankan proses. Artinya, perkawinan dilihat sebagai suatu proses yang ditandai dengan urusanmahar(sirih pinang/wua ta’a). 4 Apabila urusan mahar tidak dilakukan secara tuntas pada kesepakatan waktu yang ditentukan, maka pemberian wua ta’a pun berkesinambungan. Karena itu peneyelesaiannya akan berpuncak pada saat kedua calon suami-istri itu menikah secara adat. Perkawinan merupakan sebuah lembaga yang mempersatukan lelaki dan perempuan yang membentuk satu keluarga. Perkawinan selalu melalui tahapan-tahapan tertentu. Iadi mulai dari tahap perkenalan dan berakhir dengan tahapan persatuan (menjadi suami istri) atau pengakuan dari semua masyarakat. Berikut ini tahapan-tahapan dari perkawinan orang Boganatar. Pada hari yang telah disepakati bersama, delegasi laki-laki berangkat ke rumah keluarga perempuan untuk meminang sang gadis. Di wilayah Boganatar tahap ini disebut wua ta’a tadan (sirih pinang tanda). Tahap wua ta’ata dan ini bila diartikan secara harafiah, maka wua artinya pinang dan ta’a artinya sirih. Sedangkan tadan diartikan sebagai tanda. Maka secara keseluruhan wua ta’ata dan berarti sirih pinang tanda. Setelah memberikan wuata’ata dan, laki-laki yang akan menikah sudah bisa bekerja dan membantu di rumah keluarga perempuan. Ia akan membawa daun lontar untuk membuat bakul sebagai tempat penyimpan hasil panen. Tahap ini di sebut wua ta’a horang (sirih pinang solidaritas) atau tahap pertunangan. Durasi tahap pertunangan ini, biasanya berkisar satu bulan, akan tetapi pada umumnya tidak menentu pada durasi yang tetapkan. Ada yang kurang dari satu bulan dan yang lain lebih dari satu bulan. Semuanya tergantung dari kesepakatan dan kemauan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri masa pertunangan dan menuju pada tahap yang baru (tahap wua ta’a gete atau tahap pernikahan). Puncak perkawinan adat di Boganatar disebut wua ta’a gete atau sirih pinang besar. Pada tahap ini kedua mempelai (calon suami dan calon istri) mendapat legitimasi sepenuhnya dari masing-masing orang tua dan keluarga untuk menjadi suami istri yang dilengkapi dengan ritus pernikahan adat. Tahap wuata’agete ini di sebut juga sebagai tahap pernikahan. Ada 3 (tiga) jenis perkawinan yang diharamkan di wilayah Sikka pada umumnya dan pada orang Boganatar khususnya.5 Pertama, kawitta’idula ha (incest/perkawinan antara saudara sekandung). Kedua, amangou men (perkawinan antara ayah dengan anak perempuan kandungnya). Selain itu, ada pula sanksi bagi pelanggaran dalam hubungan perkawinan yang telah disepakati dan dilalui tahapan-tahapannya seperti yang diuraikan di atas. Misalnya, si pria meninggalkan tunangan/istrinya dan menjalin hubungan dengan wanita lain atau sebaliknya si wanita meninggalkan tunangan/suaminya lalu bersatu dengan pria lain maka sanksinya adalah denda berupa tanah, gading, gong, uang, sarung dan pakaian adat. Tanah dan gong di sini menggantikan suami atau istri sedangkan uang, sarung dan pakaian adat sebagai salah satu bentuk pemulihan kehormatan terhadap istri atau suami. Denda tersebut di lihat sebagai konsekuensi dari pembatalan hidup sebagai suami istri dan sebagai pengganti suami atau istri.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Uncontrolled Keywords: Matrilineal, Perkawinan Adat
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics
G Geography. Anthropology. Recreation > GN Anthropology
H Social Sciences > H Social Sciences (General)
H Social Sciences > HN Social history and conditions. Social problems. Social reform
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Kom Sela Mikado
Date Deposited: 23 Feb 2023 02:48
Last Modified: 23 Feb 2023 02:48
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/11918

Actions (login required)

View Item View Item