Kritik Fredric Jameson Atas Postmodernisme

GELA, Theofilus Antonius (2023) Kritik Fredric Jameson Atas Postmodernisme. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (902kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (164kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (166kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (172kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (352kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (183kB)

Abstract

Postmodernsime bukanlah istilah yang sama di zaman kontemporer ini. Kajian tentang postmodernisme juga telah diperbincangkan sejak runtuhnya modernisme. Dalam kaitannya dengan ini, Fredric Nietszhe adalah tokoh penting yang membawa modernisme sampai ke puncaknya, menjungkirbalikan segel nilai. Postmodernisme muncul sebagai suatu gerakan yang baru, dan bahkan dianggap sebagai suatu gerakan sesudah modernisme Setelah kematian Nietszhe, postmodernisme memasuki sejarah peradaban manusia dengan kekahasan dan karakteristiknya yang menyangkal, menolak, menegasi, dan bahkan yang paling ekstrim anti terhadap modernisme. Tetapi istilah ini juga sangat kontroversial karena dijelaskan dalam berbagai bidang seperti filsafat, seni, arsitek, studi literatur, dan ilmu-ilmu sosial. Lantas, pengertiannya pun tampak bervariasi. Selain itu alasan yang membuat istilah ini sangat kontroversial karena tidak bisa didefenisikan secara memadai. Postmodernisme digunkan dalam bidang musik, seni rupa, fiksi, film, drama, kritik sastra, filsafat (Loytard, Rotry, Baudrillard). Tetapi terlepas dari peristilahan ini ada tokoh-tokoh kontemporer yang dipandang menjadi pendukung postmodernitas seperti Jean Francois Loytard, Theodor Adorno, Jurgen Habermas, Richard Rotry. Dan ada juga menjadi kontra terhadap postmodernitas seperti Tery Egaliton dan termasuk Fredric Jameson. Fredric Jameson adalah seorang filsuf, kritikus budaya dan literarur beraliran Marxis paling terkemuka. Ia lahir di Cleveland, Ohio, pada 14 April 1934. Saat ini ia menjabat sebagai Profesor di Comparative Literature dan romanasa Knut Schmidt-Nielsen, dan mengepalai The Duke Centered for Critical Theory, di Duke University (Durham NC, USA). Dia adalah penulis dengan kuantitas buku yang banyak dan juga menjadi ko-editor. Jameson dikenal khalayak terutama berkat pandangannya tentang trend kebudayaan kontemporer. Jameson dipandang sebagai seorang postmodernis, namun dalam artian moderat. Meski demikian ia sendiri hadir sebagai tokoh yang mengkritisi kultur postmodernisme. Ia melihat bahwa postmodernisme adalah suatu gerakan yang tidak sama sekali baru, tetapi hanyalah ekspansi dari kapitalisme akhir, dan masih memiliki kesinambungan dengan semangat modernisme yakni kapitalimse, terlebih kapitalisme akhir. Demikian ia sesungguhnya tidak sependapat dengan Loytard yang secara radikal melihat bahwa postmodernisme memisahkan diri dari modernisme. Selain itu juga Jameson menyatakan pandangannya berkaitan dengan penolakan narasi besar yang diungkapkan oleh Loytard. Dalam pernyataannya ia mengungkapkan: “Its easier to denounce historical narratives…than it is to do without them.” Berangkat dari pernyataan ini dapat digarisbawahi bahwa postmodernisme bagi Jameson adalah perkembangan dari, bukan pemutusan dari modernisme dan modernitas. Lantas ia mengungkapkan keprihatinan dalam fenomen budaya postmodern yang begitu mudah melupakan sejarah. Di lain sisi, hal yang diakuinya dalam postmodernisme Loytard yakni, postmodernisme dalam artian gerakan yang kaya dan kreatif, dari permainan estetis dan kesenangan yang luar biasa. Ia mengungkapkan: “Postmodernism is a rich and creative movement of the greatest aesthetic paly and delight”. Namun pada prinsipnya ia menolak kenyataan postmodernisme. Lantas ia sendiri mengklaim bahwa kita tidak boleh disesatkan untuk berpikir bahwa “permainan estetika dan kesenangan” menjatuhkan ideologi yang sudah mengakar. Bertolak dari hal ini Jameson kemudian melihat bahwa kultur baru postmodernisme melahirkan unsur konstitutif seperti kedangkalan (depthlessnes), memudarnya pengaruh (the wanning affect). Selain fenomen “depthlessnes”, Jameson sendiri juga menegaskan bagaimana kultur postmodernisme melahirkan dua ciri yaitu pastiche dan schizofrenia. Beberapa aspek ini tentu dianggap Jameson sangat mencolok di dalam kutur baru ini. Pertama, pastiche. Pastiche merupakan satu istilah seperti parodi, peniruan gaya yang khas, idiosinkretik, ada penggunaan topeng linguistik, atau pidato dalam bahasa mati. Jameson menegaskan bahwa ada gejala kehilangan hubungan dengan sejarah yang berubah menjadi serangkaian gaya. Masa lalu dikurung dan kemudian dihapus sama sekali. Kita tidak bisa memahami masa lalu kecuali sebagai gudang genre, gaya, kode yang siap untuk dikomodifikasi. Di lain sisi mengikuti Lacan, Jameson menyajikan aspek schizofrenia (putusnya rantai penandaan) di dalam kultur postmodern. Postmodernisme menyebabkan hilangnya historisitas, yang paling mirip dengan penderita schizofrenia. Kenyataan melemahnya historisitas dilihat sebagai salah satu gejala zaman. Tentu hal ini tidak terlepas dari kajian terhadap literatur-literatur dan gambar-gambar yang di zaman postmodern yang telah menanggalkan banyak hal. Pada titik ini kemudian kita dapat melihat bagaimana Jameson, secara riil mengkritisi fenomen-fenomen yang muncul di zaman postmodern. Jameson membaca hal-hal miris dalam dunia postmodern di dalam beberapa medium. Pertama, dalam karya seni visual berupa lukisan sepatu karya Van Gogh mewakili seni “low culture” dan sepatu karya Andy Wahrol mewakili seni modernisme tinggi “high culture”. Jameson membuat suatu perbandingan dengan budaya modern menyangkut “kedalaman” yang secara artistik dipenuhi dengan makna, di luar apa yang bisa dilihat. Analisisnya terhadap Sepatu Petani Van Gogh bertujuan untuk menunjukkan “kedalaman” seni modern. Jameson juga berpendapat bahwa budaya postmodern melalui karya seni sepatu Andy Wahrol memancarkan kedangkalan literal. Jameson pada posisi ini mengungkapkan bahwa Sepatu Petani Van Gogh memiliki kontekstualisasi makna tertentu seperti kesengsaraan petani, kemiskinan pedesaan yang mencolok, pekerjaan pertanian, dan kelas pekerja Eropa. Perbandingan dengan Sepatu Debu Berlian Andhy Warhol, membuatnya berkesimpulan bahwa tidak ada makna yang lebih dalam di luar yang dapat dilihat. Kedua, dalam karya arsitektur Jameson sendiri mengkritisi realitas bangunan arsitektural yang baginya masuk dalam budaya postmodern. Ada semacam penghancuran jalinan kota tradisional dan budaya yang lebih tua. Hal yang ditonjolkan yakni semangat elitisme dan bangunan tinggi dengan warna mencolok yang notabene penuh dengan aksesoris perhiasan. Jameson menggunakan istilah hyperspace untuk melukiskan bangunan tinggi yang melambangkan kualitas estetika spasial yang baru. Demikian ada semacam kehilangan nilai dari setiap fitur yang digunakan dan sekaligus tidak memiliki penjelasan. Ketiga, dalam dunia perfilman. Jameson mengatakan film postmodern dibuat tentu dengan tujuan untuk menghibur masyarakat pada umumnya. Namun selain bentuk menghibur, bagi Jameson film memiliki nilai komersial yang menempatkan menempatkan produksinya di bawah kendali perusahaan multinasional. Kenyataan ini sekaligus menunjukan bahwasanya film termasuk dalam komoditas di dunia postmodern yang siap untuk dikonsumsi. Hal lain yang dilihat Jameson dalam mengenai film dalam dunia postmodern yakni: film nostalgia. Ia mengatakan bahwa: “film nostalgia telah melatih kita untuk mengkonsumsi masa lalu dalam bentuk gambar yang mengkilap dan lebih kompleks. Tetapi ada semacam fotorealisme, di mana produknya sendiri hambar dalam keanggunan visualnya. Nostalgia bagi Jameson mengarahkan orang pada manifestasi budaya seperti dalam seni dan citra rasa komersial yaitu apa yang disebut film nostalgia. Keempat, dalam dunia musik. Jameson juga melihat arus postmodernisme dalam musik postmodern yang dalam diskusi tertentu berhubungan dengan media. Selain film musik juga termasuk dalam produk budaya yang tidak terpisahkan dari hegemoni media. Hal ini tentu tidak terlepas dari kajiannya tentang seni postmodern (termasuk musik) yang direduksi nilainya seolah-olah menjadi komoditas seperti halnya seperti barang-barang. Musik yang dibuat memiliki nilai komersial dan melekat juga nilai ekonomisnya. Musik dapat melahirkan "penanda berkilauan" yang tak henti-hentinya selama proses mendengarkan. Penanda berkilauan ini tentu menjadi semacam aspek estetis sebuah karya musik yang memiliki tujuan untuk menarik pendengar. Demikian musik selain terkenal dengan bahasa puitis tetapi juga punya daya tarik yang memikat. Pada prinsipnya apa yang digagas Jameson tidak hanya berlaku pada zamannya. Namun ada banyak hal dalam gagasanya yang masih ada dalam realitas masa kini dan di sini. Postmodernisme menyebabkan kedangkalan nilai dan makna dalam banyak aspek. Tidak ada lagi yang boleh dikatakan benar-benar otentik. Semuanya barang dan bangunan yang dibuat memiliki tujuan in se yang notabene lebih kental dengan aspek ekonomisnya. Tepat di sinilah letak semangat kapitalisme lanjut atau kapitalisme finansial.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Uncontrolled Keywords: Kritik, Fredric Jameson, Postmodernisme, Kapitalisme Akhir
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BD Speculative Philosophy
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Fil Theofilus Antonius Gela
Date Deposited: 03 Aug 2023 00:30
Last Modified: 03 Aug 2023 00:30
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/12888

Actions (login required)

View Item View Item