Meneropong Makna Nilai-Nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab Dari Perspektif Etika Immanuel Kant Atas Martabat Pribadi Manusia

URAN, Martinus Wela (2019) Meneropong Makna Nilai-Nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab Dari Perspektif Etika Immanuel Kant Atas Martabat Pribadi Manusia. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAKSI.pdf

Download (239kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (38kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (164kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (56kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (55kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (69kB)

Abstract

Manusia adalah animal rationale sekaligus sebagai hommo socius. Hanya manusialah yangmemiliki akal budi. Akal budi adalah diferentia spesifica yang membedakan manusia dari makhluk infra human. Sebagai makhluk rasional, manusia senantisa berpikir, berefleksi dan menyadari eksistensi dirinya di tengah keberadaannya bersama yang lain. Selain sebagai animal rationale yang sadar akan keberadaannya, manusia juga merupakan homo sosius yang senantiasa berada bersama yang lain. Adalah suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada seorang manusia pun yang berada dari dan demi dirinya sendiri tanpa bantuan atau pun pengaruh dari keberadaan yang lain. Berdasar pada pemahaman akan pribadi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, para bapak fundator Negara Kesatuan Republik Indonesia menaruh suatu penghormatan yang besar kepada martabat manusia Indonesia yang dirumuskna dalam sila kedua Pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. SILA KE- PANCASILA (Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab) Sila kedua Pancasila mengekspresikan suatu kehendak yang kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan pemerataan sosial sesuai asas-asas kemanusiaan. Dalam sila ini manusia dipandang sebagai sentrum atau pusat dari seluruh usaha demi mewujudkan keadilan serta kemajuan peradaban Indonesia. Manusia adalah subjek atau persona yang sadar. Tanpa kesadaran manusia tidak mampu berhadapan dengan dirinya sendiri, apalagi menyadari berada dalam dunia. Hidupnya di dunia merupakan dinamika gerak kegiatan dan perbuatan. Inilah kunci untuk memahami apa yang disebutnya ‘dinamika persona’’, yaitu subjek yang sadar dengan dirinya sendiri dan subjek yang selalu berbuat, berapa untuk menampilkan siapanya di dalam dunia. Oleh karena itu, manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana ataupun obyek meskipun hal itu dilakukan demi terciptanya keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab ketika suatu pribadi masuk ke dalam suatu komunitas hidup bersama ia tetap merupakkan suatu pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur sebagai manusia yang tidak boleh begitu saja dileburkan apalagi dilecehkan atas nama keadilan. Sebelum Pancasila dirumuskan konsep kemanusiaan seperti ini, telah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant sang filsuf Jerman mengenai penghargaan akan harkat dan martabat manusia dalam ajarannya yang terkenal mengenai etika dan moralitas. Kant mengatakan bahwa dalam segala tindakan yang mau aku ambil, aku tidak boleh menjadikan manusia baik di dalam personku maupun di dalam personnya semata-mata sebagai sarana dan bukan tujuan. Melalui ungkapan ini Kant sesungguhnya menaruh penghormatan yang besar terhadap pribadi manusia. Baginya manusia selalu merupakan subyek sehingga tidak pantas untuk diperalat atau dijadikan obyek demi kepentingan dirinya sendiri maupun kelompok atau golongan tertentu. Di sana tampak jelas bahwa sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, setiap pribadi memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja namun tidak dapat dibenarkan jika di dalam kebebasan itu manusia akhirnya menjadikan dirinya atau orang lain sebagai sarana atau obyek untuk kepentingan dirinya. Berdasarkan kedua pandangan di atas, penulis menemukan bahwa sudah sejak lama penghormatan akan harkat dan martabat manusia telah dijunjung tinggi. Manusia dihargai bukan karena jabatan, harta kekayaan maupun kemampuan-kemampuan yang dimilikinya melainkan karena dia adalah manusia. Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa pandangan yang begitu berarti dan luar biasa itu belum sepenuhnya diaplikasikan dalam diri jutaan manusia saat ini. Zaman ini, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melejit pengaruhnya berkembang pula suatu sikap pragmatis, hedonis, fanatisme, arogan dan mental instant yang merasuk masuk hingga sendi-sendi kerohanian manusia. Manusia menghargai sesamanya bukan lagi karena dia adalah manusia melainkan karena yang lain itu memilki jabatan dan harta kekayaan yang akan berguna baginya. Hubungan antar sesama perlahan mulai dinodai karena dibangun di atas dasar perhitungan untung dan rugi. Dalam situasi yang demikian peperangan, ketidakadilan, perdagangan manusia (human trafficking) dan berbagai masalah kemanusiaan lainnya bertumbuh subur. MARTABAT PRIBADI MANUSIA MENURUT IMMANUEL KANT Kant menegaskan bahwa manusia harus dihormati karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Ia berseru bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda selalu memperlakukan umat manusia entah didalam pribadi anda maupun didalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan bukan sebagai sarana belaka. Sikap hormat tak bersarat ini dituntut oleh kodrat manusia sebagai persona, pusat kemandirian yang berakal budi dan berkehendak serta memiliki harkat intrinsik. Untuk menegaskan kemutlakan nilai manusia dan sikap hormat yang tak bersarat terhadapnya, Kant membedakan antara“harga” (preis) dan “martabat” (wurde). Pada prinsipnya untuk hal yang punya harga selalu ada pengganti, selalu tersedia alternatif. Tetapi sesuatu yang memiliki martabat selalu unik, tak tergantikan. Karena itu, untuk manusia yang memiliki martabat Kant memberikan immperatif moral ‘’Hendaklah memperlakukan kemanusiaan, baik dalam diri anda sendiri maupun dalam diri orang lain, selalu sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Dengan demikian, manusia menurut Kant adalah pribadi atau person yang memiliki martabat yang unik dalam keagungan pribadinya (wurde) yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Konsep Etika Umumnya kata etika secara tersirat dimaksudkan ilmu atau fisafat yang merefleksikan secara kritis, rasional dan sistematis ajaran-ajaran moral yang berlaku dalam suatu masyarakat. Berdasarkan filsuf analisis bahasa etika didefenisikan sebagai logika tentang penilaian moral. Etika berupaya mendefenisikan konsep-konsep yang lazim digunakan dalam wacana moral. Disini, etika berbicara mengenai yang baik, yang buruk, yang adil dan yang tidak adil, hak dan kewajiban. Etika berhubungan dengan prinsip-prinsip moral, tindakan etis tidak dibahas sebagai tujuan utama. Yang diperhatikan adalah konsep-konsep dan ucapan-ucapan dalam moralitas. Kata moral berasal dari kata Latin mos (mores) yang memiliki arti kebiasaan, adat istiadat. Namun, kata moral berbeda dengan etika. Etika berkaitan dengan ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam melakukan tingkah lakunya, maka kata moral menujuk kepada kualitas baik dan buruknya tindakan manusia sebagai manusia sejauh terungkap dalam tindakan konkrit. Kewajiban Sebagai Dasar Tindakan Moral Dalam grundlegung, Kant mengatakan bahwa satu-satunya hal yang baik tanpa kualifikasi atau pengecualian adalah kehendak baik. Bagi Kant hanya ada satu hal yang baik secara mutlak yaitu kehendak baik. Kehendak baik adalah kehendak yang bertindak bukan sesuai dengan hukum, bunkan karena cinta akan hukum sebab cinta menurut Kant terikat dengan kesenangan, suatu perasaan dengan pamri tertentu. Kehendak baik bertindak hanya karena hormat terhadap hukum. Kehendak baik sama dengan budi praktis. Karena itu hukum moral adalah perintah dari budi praktis yang memerintahkan untuk dirinya apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan. Berdasarkan pada alasan ini maka menurut Kant tindakan seseorang adalah baik secara moral bukan lantaran tindakan itu dilakukan demi mencapai tujuan tertentu, apa lagi berdasarkan kecenderungan spontan atau selera pribadi, melainkan dilakukan demi untuk kewajiban semata-mata. Oleh karena itu, untuk lebih menjelaskan hal ini, Kant membuat distingsi antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dengan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Tindakan yang sesuai dengan kewajiban adalah tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, apa lagi demi kewajiban itu sendiri melainkan demi maksud-maksud kepentingan sendiri. Tindakan yang dilakukan demi kewajiban adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban sebagai pengejawantahan dari kehendak baik dan karenanya tindakan itu baik secara moral.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BH Aesthetics
B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics
B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Kom Sela Mikado
Date Deposited: 21 Jan 2020 03:57
Last Modified: 21 Jan 2020 03:57
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/1301

Actions (login required)

View Item View Item