Kewarganegaraan Dalam Filsafat Politik Aristoteles Dan Hidup “Menegara” Menurut Nikolas Driyarkara

PIRU, Hilarius (2019) Kewarganegaraan Dalam Filsafat Politik Aristoteles Dan Hidup “Menegara” Menurut Nikolas Driyarkara. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAKSI.pdf

Download (307kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (337kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (477kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (485kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (529kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (351kB)

Abstract

Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesamanya yang lain. Relasinya dengan orang lain tentu berdampak pula pada sarana pemuas kebutuhan. Pada hakekatnya, manusia memiliki keterbatasan dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia mesti membangun kerja sama dengan orang lain demi mewujudkan kesejahteraan hidup. Kesejahteraan menjadi target utama yang dikejar oleh manusia. Manusia juga dikenal sebagai makhluk politik (zoon politikon). Partisipasi warga negara dalam politik menjadi alasan adanya polis. Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa Aristoteles sangat mengagung-agungkan “partisipasi” aktif warga negara. Pertama, Aristoteles menolak berbagai macam legitimasi teologis dan mistis politik. Teologis-mistis berkaitan dengan intervensi dari para dewa. Akan tetapi, politik merupakan ungkapan hakekat manusia. Kalau politik itu ekspresi dari hakekat manusia, maka manusia tidak perlu melibatkan campur tangan dewa. Kedua, jika manusia dari kodratnya bersifat politis, maka politik tidak membutuhkan kontrak sosial atau konvensi. Manusia dapat membangun komunitas hidup bersama dalam rangka pemenuhan serta penyempurnaan kebutuhan hidupnya. Ketiga, perwujudan diri manusia hanya mungkin dilakukan dalam polis atau negara kota. Aristoteles menggunakan term potentia-actus untuk mendeskripsikan hubungan antara manusia dan polis. Sebagaimana setiap kemungkinan mencapai pemenuhannya ketika mencapai tujuannya, demikian juga dengan manusia. Dia dapat mewujudkan kemungkinankemungkinan yang dimilikinya secara kodrati dalam polis. Polis adalah aktualisasi dari potensi khusus manusia. Aristoteles kemudian mendefinisikan kewarganegaraan dengan berpatokkan pada kepemilikan kantor-kantor politik. Kantor politik dapat dikualifikasi menjadi dua bagian, yaitu kantor yang terbatas/khusus dan kantor yang tidak dispesifikasi/tidak terbatas. Aristoteles mendefinisikan kewarganegaraan dalam hubungannya dengan kepemilikan kantor-kantor tak terbatas. Namun definisi seperti ini dianggap tidak memadai, karena hanya berlaku untuk negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Maka dari itu, Aristoteles membaharui definisinya dengan menandaskan bahwa, “warga negara adalah orang-orang yang berhak untuk berpartisipasi dalam kantor deliberatif dan yudisial. Berdasarkan definisi ini, tipikal utama dari warga negara tidak lagi ditentukan oleh keanggotaan sebuah kantor tak terbatas, tetapi “partisipasi” dalam proses deliberasi dan yudisial. Definisi ini dianggap cocok untuk semua sistem pemerintahan/konstitusi. Partisipasi warga di dalam polis menjadi hal yang penting dan urgen. Kehidupan kota bergantung sepenuhnya pada aktivitas para warganya. Aktivitas yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas rasional, di mana hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia. Polis membutuhkan konstitusi untuk mengatur atmosfir kehidupan para warganya, sehingga semuanya dapat berjalan dengan aman. Untuk menghasilkan suatu konstitusi dibutuhkan partisipasi dari orang-orang yang berkompeten. Maka dari itu, Aristoteles menyarankan agar masyarakat turut berpartisipasi dalam jabatan polis. Jabatan yang dimaksud adalah jabatan dalam bidang deliberatif dan yudisial. Warga negara memiliki kewenangan untuk berpartisipasi dalam bidang deliberatif atau pertimbangan. Sebagai anggota dewan pertimbangan atau deliberatif, mereka memiliki beberapa kewenangan khusus, yakni mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masalah perang, mengusahakan perdamaian, membuat undang-undang, mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman mati, pembuangan dan penyitaan. Selain itu, mereka juga mempunyai kuasa untuk mengangkat dan mengawasi kinerja para pejabat. Partisipasi warga negara dalam bidang deliberatif ditentukan oleh jenis konstitusi yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Dalam negara demokrasi, semua rakyat diberi hak yang sama. Salah satu hak yang melekat dalam diri warga negara adalah hak untuk mengeluarkan pendapat. Untuk memberikan masukan-masukan atau aspirasi-aspirasi, seorang warga negara harus bergabung dalam kelompok deliberatif. Di sanalah masyarakat melakukan pertimbangan bersama guna mencapai kesepakatan yang berkualitas. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dihasilkan akan diterapkan dalam kehidupan polis. Dengan demikian, kemajuan polis dan kesejahteraan para warganya dapat tercapai. Lembaga yudisial atau badan peradilan (dikasteria) merupakan salah satu lembaga hukum yang bertugas untuk mengadili perkara atau memberi keputusan atas suatu masalah. Lembaga ini memiliki peranan penting dalam kehidupan polis. Ketika warga negara menghadapi suatu perkara, maka lembaga ini akan menanganinya. Pada bagian ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Lembaga ini memiliki delapan jenis peradilan. Pertama, pengadilan untuk peninjauan perilaku pejabat publik; kedua, pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kepentingan umum; ketiga, pengadilan untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan konstitusi; keempat, pengadilan untuk kasus-kasus di seputar perselisihan jumlah denda; kelima, pengadilan untuk perjanjian atau kontrak antara kalangan swasta perorangan, yang melibatkan jumlah yang besar; keenam, pengadilan untuk kasus-kasus pembunuhan; ketujuh, pengadilan yang berhubungan dengan kasus-kasus orang asing; kedelapan, pengadilan untuk kontrak-kontrak dalam jumlah kecil. Nikolas Driyarkara memiliki pandangan yang khas tentang hidup menegara. Nikolas Driyarkara mengintegrasikan manusia dengan negara. Menurut Nikolas Driyarkara, manusia itu tidak bernegara, melainkan menegara! Ia menegarakan diri sendiri, sesama manusia, dan tanahnya dengan seluruh keadaannya. Manusia menjalin relasi dengan sesama dan lingkungan alam sekitar guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama menjadi finalitas teleologis dari hidup manusia di dalam negara.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
J Political Science > JC Political theory
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Kom Sela Mikado
Date Deposited: 04 Feb 2020 00:57
Last Modified: 04 Feb 2020 00:57
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/1660

Actions (login required)

View Item View Item