Hari Sabat, Hari Keselamatan (Refleksi Eksegetis Atas Teks Matius 12:9-15a)

ASROMANS, Engelbertus (2018) Hari Sabat, Hari Keselamatan (Refleksi Eksegetis Atas Teks Matius 12:9-15a). Diploma thesis, Unika Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAKSI.pdf

Download (488kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (41kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (110kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (131kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (65kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (39kB)

Abstract

Sejak awal sampai akhir, halaman-halaman Kitab Suci Perjanjian Lama penuh dengan kisah-kasih Allah terhadap umat-Nya. Berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh umat-Nya dibalas pula dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Namun, Allah tetap menganugerahkan rahmat pengampunan dan keselamatan bagi mereka yang selalu setia dan tetap mengimani-Nya, karena Allah adalah mahapengasih dan sumber atau pokok keselamatan. Misi keselamatan itu berlanjut sampai pada zaman Perjanjian Baru yang telah dimeteraikan dalam dan melalui diri Yesus Kristus, Putra Allah, sebagai sumber keselamatan sejati. Mengamati adanya kontroversi antara orang Farisi dan Yesus atas tindakan keselamatan yang dilakukan Yesus pada hari Sabat, maka saya mencoba menelaah lebih jauh hal ini di bawah judul: HARI SABAT, HARI KESELAMATAN (Refleksi Eksegetis Atas Matius 12: 9-15a). Kata Sabat berarti berhenti atau beristirahat. Dalam bahasa Yunani disebut sabbaton yang juga berkaitan dengan kata sybȧt (berhenti, beristirahat, tidak bekerja). Sebagaimana Allah beristirahat pada hari ketujuh, maka orang Israel juga diperintahkan untuk mengingat dan menguduskan hari Sabat. Ada enam hari untuk bekerja dan hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, hari yang dikuduskan oleh Tuhan (Kel. 20:8-11). Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu. Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi dengan berbagai tingkat keterlibatan dalam Yudaisme. Ada sekian banyak peraturan dan 9 kewajiban yang menyertai hari Sabat itu, dan karenanya tidaklah berlebihan jika banyak orang Farisi memahaminya hanya sebagai larangan: pada hari Sabat, orang tidak boleh bekerja. Setidaknya, ada dua alasan di balik penetapan perlunya hari Sabat dalam konteks budaya Yahudi saat itu yakni: Pertama, dengan adanya hari Sabat, manusia tidak diperbudak oleh pekerjaan itu sendiri. Kedua, dengan adanya hari Sabat, orang Yahudi yang memiliki pekerja atau budak dapat membuat pekerja atau budaknya juga istirahat. Hari Sabat itu dimaksudkan demi keselamatan orang Yahudi maupun orang-orang yang menjadi pekerjanya. Karena itulah, hari Sabat mesti dihormati terutama karena makna keselamatannya, dan bukanlah karena serangkaian larangan yang menyertai hari Sabat itu. Hal ini menjadi nyata dalam kisah penyembuhan pada hari Sabat. Bagi Yesus, makna keselamatan hari Sabat hendaknya menjadi hal yang diutamakan ketika orang diperhadapkan dengan kenyataan, di mana dirinya mesti melakukan sesuatu demi kebaikan sesamanya melampaui legalisme hukum dan peraturan. Semua Kitab Hukum Perjanjian Lama mewajibkan, agar Sabat dirayakan dengan menghentikan pekerjaan harian. Peraturan Sabat yang tertua terdapat pada Kel. 23:12 yang mendasarkan larangan untuk bekerja pada pertimbangan manusiawi yakni Istirahat bagi manusia dan hewan. Di samping itu, Ulangan 5:15 menghubungkan perayaan Sabat dengan keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Pada waktu sebelum pembuangan, Sabat diperingati dalam suasana meriahgembira; orang mengunjungi Kenisah (Yes. 1:12-13) dan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada para Nabi (2 Raj. 4:23), sedangkan Nehemia pada waktu setelah 5 10 pembuangan (Neh. 13:15-22) harus menjamin ketenangan Sabat dengan paska. Sejak saat itu semakin timbul kepentingan Sabat (Yes. 56:2-6; Yer. 17:24-27). Pada zaman Makabe, orang-orang Yahudi membiarkan dirinya dibunuh musuh tanpa mengadakan perlawanan, agar tidak melanggar ketenangan Sabat dengan berperang (1Mak. 2:37-38; 2Mak. 6:11; 15:1-2). Penjelasan mengenai Sabat dalam Perjanjian Baru tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan hidup Yesus selama Ia berkarya di dunia. Jika dilihat dari berbagai perikop dalam keseluruhan Injil, di sana dapat kita temukan berbagai versi dari keempat pengarang Injil yang sama-sama menceritakan tentang kebaikan yang dilakukan Yesus pada hari Sabat. Bagi Yesus, hari Sabat diciptakan untuk menjadi berkat kepada umat manusia, bukan malah sebaliknya menjadi beban. Selama karya pewartaan Yesus di dunia, Ia telah melakukan semua apa yang dapat Ia lakukan untuk mengembalikan hari Sabat kepada bangsa Israel sebagaimana yang telah diberikan kepada mereka. Yesus berusaha menyatakan bahwa maksud sebenarnya daripada hari Sabat ialah berbuat baik, menyembuhkan orang sakit, dan melakukan perbuatan-perbuatan belas kasihan. Penyembuhan yang dilakukan Yesus pada hari Sabat terhadap seorang yang lumpuh sebelah tangannya di dalam teks Mat. 12:9-15a, merupakan wujud nyata karya keselamatan Allah bagi umat-Nya yang sedang menderita. Allah adalah sumber keselamatan dan sayang akan umat-Nya. Keselamatan akan diperoleh apabila setiap orang memiliki keterbukaan hati untuk menanggapi keselamatan dan kasih yang Allah tawarkan. Hari Sabat sungguh-sungguh menjadi hari keselamatan, sebab Allah yang hadir dalam diri Yesus sebagai tabib Ilahi berkuasa menyembuhkan serta membaharui hukum Taurat yang sangat menekankan kekudusan hari Sabat. Bagi Yesus hari Sabat adalah hari 6 11 keselamatan dan hari Sabat itu diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (bdk. Mrk. 2:27). Kehadiran Yesus di dunia ialah untuk melanjutkan karya keselamatan Allah yang dijanjikan-Nya pada masa Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, keselamatan sering dinyatakan dengan sesuatu yang nyata seperti kemenangan dalam pertempuran dan berlimpahnya hasil panen. Sedangkan keselamatan di dalam Perjanjian Baru bermakna kehadiran Yesus Kristus untuk meneruskan karya keselamatan Allah. Semua yang dilakukan Yesus semata-mata berdasarkan cinta dan kepedulian-Nya yang tak kenal batas terhadap seluruh umat-Nya. Di dalam Perjanjian Lama, keselamatan itu dimengerti dalam istilah Tanah Perjanjian dan menikmati berkat Tuhan di dalam dunia ini oleh umat-Nya. Mereka menikmati persekutuan dengan Tuhan secara bersama, baik di dalam kemah suci maupun Bait Suci, dan juga secara pribadi di dalam saat teduh seperti yang ditunjukkan dalam Kitab Mazmur. Ini adalah gambaran yang ideal, namun umat pilihan Tuhan sering tidak memenuhi gambaran ideal ini. Kebanyakan mereka yang meninggalkan Mesir dan yang menerima Perjanjian di Sinai menjadi tidak setia. Oleh karena ketidakpercayaan, mereka mengeraskan hati untuk melawan Tuhan dan binasa di padang gurun (bdk. Bil. 13:26- 14:38).1 Para Nabi melihat sejarah Israel sebagai catatan pemberontakan, kejatuhan, kemunduran, dan kemurtadan. Meskipun umat Israel terus-menerus melanggar perjanjian-Nya, namun Tuhan tetap berkomitmen untuk menggenapi janji-janji-Nya, tapi umat-Nya harus hidup sesuai dengan tuntutan moral dan rohani perjanjian tersebut. Dia 1 French L. Arrington, Jaminan Keselamatan Kekal Yang Tak Bersyarat (Jakarta: Light Publishing, 2015), hlm. 201-202. 7 12 berjanji untuk melindungi dan memelihara mereka, tapi itu bergantung pada ketaatan dan kesetiaan mereka. Umat Tuhan dapat tetap berada dalam keselamatan mereka selama mereka memelihara perjanjian tersebut. Sebagai hasil dari dosa-dosa mereka, Allah sendiri berulang kali menghakimi mereka. Karena mereka bertahan dan keras dalam kemurtadan mereka, maka orang-orang Asyur dan Babel menguasai negeri mereka. Banyak dari mereka yang diasingkan ke negeri asing atau yang dibunuh. Mereka tidak lagi menikmati keselamatan mereka. Singkatnya, Perjanjian Lama tidak menawarkan jaminan untuk menerima keselamatan kekal tanpa terus bertahan dan menghasilkan buah kehidupan kudus. Di dalam Perjanjian Baru, istilah keselamatan dan penebusan mengekspresikan gagasan yang sebenarnya sudah ada di dalam Perjanjian Lama, yakni pembebasan dari dosa dan hidup dengan Tuhan. Di masa-masa awal, pengharapan keselamatan Perjanjian Lama itu lebih berfokus pada warisan Tanah Perjanjian, tetapi itu menjadi semakin lebih bersifat rohani dan digenapi di dalam pekerjaan Yesus Kristus. Menurut Perjanjian Baru, keselamatan itu adalah masa kini, dan merupakan pengalaman yang progresif. Siapapun yang beriman di dalam Kristus telah diampuni dan diselamatkan (bdk. Kis. 16:31). Oleh karena itu, orang percaya tersebut telah ditebus dan diterima untuk bersekutu dengan Tuhan. Kondisi untuk menerima keselamatan ini adalah dengan memiliki iman dari permulaan keselamatan hingga penggenapan penuhnya nanti. Keselamatan itu lebih dari sekadar respons awal iman. Hal ini melibatkan kesetiaan kepada panggilan Tuhan untuk hidup kudus di dunia ini dan pengharapan bahwa keselamatan kekal itu akan digenapi secara penuh di dunia yang akan datang. Iman di dalam Kristus sangat diperlukan untuk memasuki kehidupan kekal. Ini adalah 8 13 kondisi yang harus dipenuhi untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah dan untuk tetap tinggal di dalam Kerajaan tersebut, dan kondisi ini juga berlaku untuk mendapatkan keselamatan masa sekarang dan keselamatan di masa yang akan datang.2 Perjanjian Baru juga mengajarkan kita bahwa era keselamatan telah datang dengan kedatangan Yesus Kristus, dan bahwa sekarang seseorang dapat menerima kehidupan yang baru melalui iman di dalam Kristus. Perjanjian Baru tidak mengajarkan jaminan keselamatan yang tak bersyarat. Pada permulaan kehidupan di dalam Kristus, orang-orang percaya mengalami kelahiran baru, namun firman Tuhan tidak mengajarkan bahwa kelahiran baru itu tidak dapat dibatalkan. Kematian rohani bukanlah hal yang mustahil terjadi di dalam kehidupan orang yang percaya kepada Kristus. Para penafsir menawarkan pemahaman bahwa Tuhan melakukan rencana keselamatan-Nya melalui pekabaran Injil. Yesus berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu (bdk. Mat. 4:23). Pewartaan Yesus adalah pewartaan keselamatan. Arti pewartaan itu menjadi jelas dalam mukjizat yang menyelamatkan manusia secara konkret sekali. Tetapi mukjizat itu baru menjadi jelas maksud dan tujuannya, kalau dimengerti dan diimani sebagai manifestasi dari kedatangan kerajaan Allah.3 Karya penyelamatan Yesus ternyata tidak hanya memunculkan daya pikat dan popularitas yang besar. Muncul juga oposisi dari kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat Yahudi yang merasa terusik oleh kehadiran Yesus. Karya-karya Yesus kadang-kadang berbenturan dengan tatanan sosio-religius agama Yahudi. Beberapa tema 4. Ibid. 5.Dr. T. Jacobs S.Y., Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 221. 9 14 oposisi yang biasa ditemukan antara lain: tuduhan bahwa Yesus sudah menghujat Allah dengan mengampuni dosa dan menyebut Allah sebagai Bapa, tuduhan bahwa Yesus melanggar hari Sabat, bahwa Yesus makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Oposisi itu semakin menguat sehingga ancaman terhadap Yesus semakin mengental. Pada akhir pelayanan di Galilea, sudah muncul rencana-rencana dari lawan-lawan Yesus untuk menangkap dan membinasakan-Nya.4 Salah satu tuntutan radikal Yesus ialah bahwa Ia harus menghargai orang-orang menurut martabat mereka sendiri, bukan karena ada hubungan darah dengan-Nya atau kepentingan bersama dengan-Nya. Allah sendiri juga menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (bdk. 1Tim. 2:3-4). Yang kodrati primer atau fundamental pada manusia ialah bahwa mereka makhluk yang bebas dan setara. Tuhan memberikan hari Sabat untuk memberitakan pembebasan dan kesetaraan. Orang Farisi dan Ahli Taurat Yahudi pada zaman Yesus membuat hal yang sekunder menjadi primer. Sabat yang ditetapkan Allah menjadi berkat bagi manusia, oleh orang Farisi dan Ahli Taurat justru diubah menjadi hari yang membelenggu manusia dengan membuat aturan yang kaku. Tindakan Yesus pada hari Sabat yang bersifat controversial dalam pandangan Orang Farisi dan Ahli Taurat adalah upaya mengembalikan hari Sabat pada tujuan semula seperti yang dikehendaki Allah, yakni Sabat untuk pemebebasan bukan perbudakan; Sabat untuk memanusiakan manusia bukan untuk menindas manusia dengan aturan-aturan. Dalam konteks ini, Yesus bukanlah tidak menghargai aturan hari Sabat, tetapi Ia ingin mengembalikan hari Sabat kepada maknanya yang sejati. Ia ingin agar aturan Sabat tidak lagi menjadi hal yang sungguh-sungguh membelenggu, membatasi dan mengekang 7. St. Eko Riyadi, Pr, Pengantar Ke Dalam Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm. 186. 10 15 kebebasan seseorang, bahkan kebebasan untuk berbuat baik. Yesus menghendaki agar Sabat disyukuri sebagai anugerah Allah demi mendatangkan kebaikan dan keselamatan bagi manusia, dan karenanya, Sabat bukanlah penghalang untuk melakukan kebaikan, sebab melakukan kebaikan adalah wujud nyata dari cinta kasih yang perlu terus dikerjakan oleh setiap manusia kapan dan di manapun ia berada. Sehingga dapat menjadi nyata bahwa hari Sabat yang dikuduskan bagi Tuhan menjadi hari keselamatan bagi semua manusia.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
B Philosophy. Psychology. Religion > BS The Bible
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: Osa Yumida
Date Deposited: 11 Mar 2020 00:22
Last Modified: 11 Mar 2020 00:22
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2123

Actions (login required)

View Item View Item