PALA, Fransiskus (2018) Peradilan Adat Babho Dalam Hukum Adat Orang Naidewa Dan Implikasinya Terhadap Penegakan Keadilan. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.
Text
ABSTRAK.pdf Download (338kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (56kB) |
|
Text
BAB II.pdf Download (71kB) |
|
Text
BAB III.pdf Download (213kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Download (77kB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (162kB) |
Abstract
Manusia adalah makhluk sosial. Pada dasarnya ia membuka diri terhadap kehadiran yang lain. Kebersamaan dalam sebuah masyarakat terjalin ketika masing-masing pribadi mengembangkan dimensi sosialnya. Dimensi sosial manusia hanya terpenuhi jika manusia menjalin persahabatan dengan sesamanya. Setiap manusia tentu mempunyai tujuan hidup. Dalam hidup, manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat mutlak dan harus dipenuhi. Setiap manusia tentu akan mewujudkanya. Hirarki-hirarki kebutuhan yang tak mungkin terelakkan dalam hidup manusia itu antara lain: kebutuhan bagi badan (physical needs), kebutuhan akan keamanan diri (safety needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan kebutuhan akan kepuasan diri (self-actualization needs). Jadi, untuk memenuhi hal-hal ini perlu usaha yang keras. Kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan di atas bukan suatu yang mudah sebab manusia akan memaksakan diri demi mendapatkannya, sehingga tidak heran akan menimbulkan banyak konflik antara pribadi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial itu pada dasarnya saling melengkapi. Namun karena berbagai kepentingan, manusia pun menerapkan sikap saling mencurigai dan tidak mendukung antar pribadi. sering terjadi pula, saling kritik-mengkritik. Bukannya saling memberi kesejukan dan mendukung, malah saling menyakiti bahkan saling melukai. Fakta hidup manusia seperti inilah yang menimbulkan pertengkaran dan perselisihan. Akibatnya terjadi konflik kapan saja dan di mana saja. Konflik terjadi akibat aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis maupun tidak tertulis; penerapannya terlalu kaku dan terkesan keras adanya. Konsili Vatikan II dalam artikel 8 Gaudium et spes, menerangkan bahwa konflik antara manusia terjadi akibat adanya: Perubahan besar yang seringkali terjadi secara tidak teratur, terdapat ketidakseimbangan dalam diri manusia sendiri antara akal budi modern yang bersifat praktis dan cara berpikir teoritis, yang tidak mampu menguasai keseluruhan ilmu pengetahuan yang menyusun dalam sintesa-sintesa yang serasi. Begitu pula muncul ketidakseimbangan antara pemusatan perhatian pada pendayagunaan praktis dan tuntutan-tuntutan moral suara hati. Dalam kehidupan kekeluargaan adanya ketidakserasian, baik karena kondisi kependudukan, ekonomi, dan sosial yang mendesak, ada juga kesulitan-kesulitan yang muncul karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara laki-laki dan perempuan, muncul pula pertentangan yang sengit antara suku-suku, bahkan antara pelbagai lapisan masyarakat, antara bangsa yang kaya dan yang kurang mampu. Hal-hal yang disebutkan di atas membangkitkan sikap saling tidak percaya dan bermusuhan, konflik-konflik dan kesengsaraan, yang disebabkan dan sekaligus korbannya adalah manusia itu sendiri.1 Kenyataan membuktikan bahwa dari sekian banyak bangsa yang ada di dunia ini, sesungguhnya setiap manusia tidak pernah terlepas dari sengketa dan perselisihan. Meskipun manusia tidak menghendaki perselisihan dan pertentangan itu terjadi, namun persengketaan atau konflik muncul secara tidak pasti dan tak terduga. Dari beberapa hasil pengamatan dan penyelidikan konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, umumnya terjadi akibat masalah harta milik, masalah warisan dan konflik menyangkut kepemilikan tanah serta perbatasan tanah. Selain itu konflik yang sering terjadi ialah skandal seksual, kasus pencurian, penghinaan, pengrusakan ladang, pembunuhan, serta konflikkonflik lain yang diakibatkan oleh tingkah laku manusia yang selalu berseberangan dengan apa yang sudah ditetapkan. Dewasa ini timbulnya masalah atau konflik di desa, di kampung atau di mana saja selalu mengorbankan keadilan. Sering terjadi yang kuat dan yang berkuasa adalah yang menang. Sehingga, dengan adanya kejadian seperti itu membentuk suatu ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, baik masyarakat demokrasi maupun masyarakat otoriter. Untuk mengatasi ketidakadilan dan penindasan itu, maka dalam masyarakat terbentuklah hukum untuk menegakkan keadilan, baik hukum sipil atau Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes,R. Hardawiryana, SJ (penerj.), (Jakarta: Obor, 2008), art.hukum Negara maupun hukum adat. Pada setiap daerah hukum adat berbeda-beda, semuanya mengandung nilai dan prioritas utamanya untuk menegakkan keadilan, mengaplikasikan kedamaian serta keharmonisan dalam hidup bersama. Dewasa ini, proses peradilan dan penyelesaian masalah yang memuaskan semua pihak sering kali sulit dicapai. Jalur ligitasi di pengadilan negara cendrung jauh dari harapan dalam menjunjung tinggi nilai keadilan. Keadilan susah dan sulit ditegakkan, bahkan memakan waktu dan biaya sebelum mencapai suatu tahap penyelesaian. Hal itu dikarenakan prosedurnya yang rumit, juga karena bertumpuknya perkara di pengadilan yang belum diperiksa atau diputuskan. Di samping itu, banyak lembaga peradilan negara yang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji, seperti melakukan pemerasan terhadap pihak yang mencari keadilan, memanipulasi dan memperjualbelikan perkara, suap-menyuap dan berbagai mafia peradilan lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial, dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, sesama dan benda-benda, ia membutuhkan aturan-aturan, kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang mengatur tata hubungan antar manusia dengan yang lainnya. Aturan dan kebijaksaanaan hidup itu juga merupakan hasil dari kreasi akal manusia sebagai makhluk berbudaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan masyarakat Naidewa, aturan dan kebijaksanaan hidup itu tertuang dalam berbagai elemen kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu elemen budaya itu adalah peradilan adat babho. Sebagai salah satu elemen kebudayaan, peradilan adat babho dalam masyarakat adat Naidewa tidak hanya menyangkut prinsip menyelesaikan sengketa, tetapi lebih pada proses penegakan keadilan dan menjunjung tinggi nilai perdamaian dan keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan merujuk pada sifat, perbuatan dan perlakuan yang adil. Tindakan yang adil selalu berhubungan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sosial. Keadilan pun dapat dipandang sebagai tuntutan norma, sebagai keadaan dan sebagai sikap. Keadilan menuntut agar hak setiap orang dihormati dan semua manusia diperlakukan secara sama. Peran ini mendapat legitimasinya dalam lembaga yang berwenang sebagai penegak keadilan, yaitu lembaga peradilan adat. Babho sebagai sebuah lembaga peradilan adat pada hakekatnya dipandang sebagai pilar untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat adat, keutamaan-keutamaan moral yang berkaitan dengan sikap hidup dalam bidang tertentu, termasuk menjamin hubungan baik dan keseimbangan hidup serta rasa adil dan damai antar masyarakat adat. Adapun peradilan adat babho dalam masyarakat Naidewa berimplikasi terhadap penegakan keadilan. Diantaranya adalah: Pertama, keadilan berimbang yang dipahami sebagai sikap saling memberikan perdamaian maupun keadilan yang seimbang. Seimbang dalam bahasa Ngada dimengerti dengan sebutan papa jawa ne’e tenga sama. Yang mana tenga sama diartikan sebagai seimbang atau tidak berat sebelah. Jawa ne’e tenga sama ini merupakan suatu nilai keadilan yang merujuk pada sikap perdamaian yang tidak berat sebelah atau memihak pada pihak mana pun. Kedua, keadilan terbuka dan jujur yang tampak dalam ungkapan, “jawa ne’e toto ate dhapi ate bhewa” yang diartikan sebagai ‘adil dengan hati yang jujur dan terbuka’. Masyarakat Naidewa menekankan prinsip keadilan yang diterapkan secara jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan sebagai keikhlasan yang muncul dari hati. Ketiga, keadilan mitis religius. Dalam konteks peradilan adat babho, keadilan ini muncul dalam ungkapan penyesalan dari seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran terhadap hukum adat tertentu. Untuk mendapatkan keadilan yang bersifat mitis religius hakim adat (Mosalaki) perlu melibatkan leluhur atau Wujud tertinggi yang masyarakat Naidewa sebut mete ne’e dewa zeta lena da keso uli tenga dala yang berarti bahwa berharap pada Dewa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, juga sebagai hakim yang sangat adil dan tak tergoyahkan. Dalam mengadili, hakim adat akan berkata: “Mali tu’u-tu’u kau da tau, Dewa zeta da olo neni, Dewa zeta da olo tei, Nitu zale da olo ngada wi ti’i masa go rio laza ngia gau” (‘apabila betul-betul kesalahan ini adalah ulahmu, maka Dewa di ketinggian telah melihat dan menghukum engkau, Nitu telah melihat dan menyebabkan derita kepada engkau’). Dengan ancaman keterlibatan wujud tertinggi demikian akan memunculkan rasa takut dari para pelaku, sehingga dalam babho tidak memunculkan manipulasi dan kecurangan. Keempat, keadilan dengan alam terbaca dalam ungkapan, “jawa ne’e ota ola’’. Jawa ne’e ota ola berarti usaha dari manusia untuk merasa akrab atau berdamai dengan alam. Bagi masyarakat Naidewa, tanah atau alam yang memberikan hasil patut dihargai keberadaannya tanpa dieksploitasi secara berlebihan. Dengan tetap terciptanya relasi saling menghargai antara manusia dan alam, kesatuan antara alam dan manusia pun tetap terjaga. Dengan demikian, manusia pun dapat menghindarkan dirinya dari dampak-dampak merugikan yang disebabkan oleh eksploitasi alam secara berlebihan. Kelima, keadilan transformatif. Peradilan adat babho mampu membawa orang yang melakukan pelanggaran pada suatu titik perubahan. “Jawa ne’e lisu ate” (‘damai dari hati yang penuh penyesalan’). Pelanggaran terhadap hukum merupakan suatu bentuk perbudakan yang membelenggu, baik bagi pelaku kejahatan maupun bagi korban. Semakin besar tindakan pelanggaran hukum, semakin dalam pula perbudakan tersebut terhadap diri. Karenanya, seseorang yang melanggar hukum perlu bertransformasi diri, membangun kembali kesadaran diri dengan bertolak dari kebebasannya yang mutlak. Keenam, keadilan protektif. Dalam peradian adat babho, perdamaian dan keadilan diperjuangkan selain untuk tercapainya kesejahteraan, keduanya pun ditegakkan demi mencegah masyarakat kampung Naidewa melakukan tindakan yang dapat memecah-belah kesatuan antar warga. Ciri keadilan protektif dalam babho dimaksudkan sebagai tindakan perlindungan jangka panjang, le papa meku sai dhu go leza zetu, le papa modhe sai dhu go nipi kobe (saling berdamai hingga matahari terbenam, saling baikan hingga terbawa mimpi di malam hari), dalam hal ini terdapa suatu nilai perlindungan transformatif yang membawa kebaikan pada saat sekarang masa mendatang. Ketujuh, keadilan komutatif. Ciri komunal dalam peradilan adat babho, berkenaan dengan orang banyak (‘riwu woso’). “Papa jawa pu’u ulu sai eko, pu,u zele wolo sali zili jere” artinya ‘berdamai atau menerapkan keadilan kepada semua kalangan mulai dari penghujung sampai akhir kampung, dari gunung sampai di lembah’). Keadilan komunal hanya bisa dilaksanakan dalam komunitas masyarakat yang mendiami wilayah tertentu. Komunal selalu berkaitan dengan sosialitas dan rasa kebersamaan masyarakat. Masyarakat Naidewa menganut prinsip kebersamaan yang sangat kuat dan malah menyangkut semua bidang kehidupan dan aktivitas mereka. Barangsiapa bertindak di luar pola yang telah seragam itu ia menyangkal sosialitasnya. Dengan tidak merugikan kepentingan pribadi orang lain, itu sama halnya dengan menghargai martabatnya sebagai manusia, sebagai warga dari sebuah masyarakat
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | Osa Yumida |
Date Deposited: | 10 Mar 2020 05:57 |
Last Modified: | 10 Mar 2020 05:57 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2124 |
Actions (login required)
View Item |