Nilai Edukatif Perkawinan Dalam Ritus Wawi Dadi Di Kampung Natakoli, Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka

TEDI, Ignasius Nong (2018) Nilai Edukatif Perkawinan Dalam Ritus Wawi Dadi Di Kampung Natakoli, Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka. Diploma thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (618kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (838kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (596kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (1MB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (1MB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (724kB)

Abstract

Manusia memiliki kesadaran sehingga dapat mengenal kehidupan yang dialaminya. Hanya manusia yang mampu menghayati dan mencintai kehidupan yang tengah mereka jalani. Manusia dapat memperkaya dan melipatgandakan segala sesuatu demi kebahagiaan dirinya. Namun dalam perjalanan hidupnya, tidak dapat disangkal bahwa manusia tidak pernah terlepas dari lingkungan yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah kehidupannya. Lingkungan di mana manusia hidup telah memainkan peranan dalam membentuk manusia, dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna sekaligus sebagai makluk yang berbudaya, senantiasa menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun - temurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari- hari dan juga dari kejadian -kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Manusia dan kebudayaan atau adat istiadat tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam ranah kehidupan, kedua hal tersebut selalu saling terkait satu dengan yang lain. Di sisi lain, Pembicaraan tentang adat itu sendiri tidak akan pernah selesai karena manusia masih terus berkembang dengan cara pandang dan bahasa. Demikian pula adat istiadat, ia akan terus berjalan, senantiasa bercabang dan penuh arti, karena adat istiadat adalah cara hidup, pandangan dan cita-cita. Adat istiadat menuangkan berbagai nilai yang berisi cita kemanusiaan, cinta kasih dan ajaran lainnya yang sangat berguna bagi manusia dalam kehidupannya. Pada misi tertentu, budaya juga sangat berguna bagi kehidupan manusia dalam perkembangan intelektual, spiritual, serta berbagai hal yang bersifat personal maupun sosial. Maka, jelaslah bahwa adat istiadat dapat digunakan dalam berbagai kepentingan terutama untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memahami makna bahasa yang terkandung di dalamnya. Di sisi lain, manusia sebagai makluk berbudaya itu pula secara eksistensial merupakan homo socius yang senantiasa hidup bersama yang lain. Sebagai makluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. manusia adalah individu yang diadakan dan mengadakan; memberi dan diberi arti oleh yang lain. Berdasar pada alasan ini, maka penting bagi manusia untuk menjalin hubungan yang baik dan benar dengan sesama dalam lingkungan masyarakat di mana ia berada. Penghayatan akan hidup baik dan benar juga diterapkan dalam kehidupan perkawinan. Hal ini tidak bisa disangkal karena perkawinan ada dan bertumbuh dalam suatu masyarakat. Perkawinan mengajarkan tentang yang baik dan benar. Dikatakan baik dalam perkawinan manakala manusia yang adalah pencipta dan pelaku perkawinan itu menjalankan perkawinan itu dengan mengikuti sistem perkawinan yang melekat dalam perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang benar jika melakukan perkawinan itu berdasarkan norma yang ada dalam perkawinan dan menghindarkan larangan-larangan dalam perkawinan. Perkawinan merupakan bentuk intim dari relasi yang mendalam antara pria dan wanita dan diharapkan berjalan secara harmonis. Makna hubungan antara pria dan wanita yang termeterai dalam perkawinan tidak sebatas ikatan lahiriah semata, Melainkan “suatu persekutuan yang saling mengikat, yang cocok agar mereka saling memberi kehangatan dan rasa saling memiliki, memuaskan dambaan seksual pasangan sebagaimana juga menghasilkan keturunan dan memungkinkan pendidikan anak”. Kekristenan memandang perkawinan merupakan representasi persatuan yang mesra antara Allah dan manusia. Oleh karena itu perkawinan dan tahapan menuju perkawinan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang telah digariskan oleh yang Absolut. Dalam kehidupan masyarakat tradisional di Kampung Natakoli, perkawinan memiliki makna yang begitu dalam dan kaya nilai. Perkawinan dalam masyarakat setempat tidak hanya dilihat sebagai persatuan cinta antara suami istri, melainkan lebih dari itu sebagai sarana pengungkapan diri dan tanggung jawab serta sarana persatuan. Sebagai sarana pengungkapan diri dan tanggung jawab karena melalui perkawinan baik mempelai pria maupun wanita sesungguhnya mau mengungkapkan diri sebagai pria atau wanita dewasa, yang telah siap baik secara fisik maupun mental untuk bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya sendiri sampai pada tanggung jawab melahirkan dan membesarkan anak-anak. Perkawinan sebagai sarana persatuan, karena melalui perkawinan itu pula kedua keluarga besar di persatukan. Keluarga besar dari mempelai pria disebut “me-pu”, sebaliknya dari pihak mempelai wanita disebut “ina-ama”. Selain sebagai sarana pengungkapan diri dan persatuan, dalam upacara perkawinan di Kampung Natakoli, terkandung beberapa nilai edukatif yang penting untuk ditelaah dan dihidupi. Nilai-nilai ini secara khusus tertuang dalam syair-syair adat sebagai nasihat kepada kedua mempelai yang hendak menikah secara adat dalam ritus wawi dadi. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini, makna luhur perkawinan semakin digeroggoti oleh globalisasi yang melejit pengaruhnya. Efek dari globalisasi ialah perkembangan suatu gaya hidup menjadi mass culture, suatu kebudayaan massa. Revolusi media komunikasi seperti TV, VCD, telepon, internet yang memungkinkan komunikasi dengan orang lain sudah merambah hingga pelosok-pelosok desa termasuk di Kampung Natakoli. “Demam” alat komunikasi ini, tetap harus ditopang dengan ketahanan moral dalam diri konsumen sebab mengandug bahaya. Bahaya itu terjelma dalam bentuk penyajian informasi yang cenderung hedonistik dan bebas nilai-nilai kemanusiaan yang merangsang libido seksual. Dengan adanya tayangan-tayangan mesum ditonton dalam alat-alat elektronik dapat memicu nafsu kebinatangan untuk melanggar norma-norma kesucian dan hidup perkawinan. Perkawinan kemudian dipahami hanya sebatas pada kepuasan lahiriah belaka, sehingga kesetiaan hampir tidak terjalin dan perceraian terus meningkat. Kesucian perkawinan serta berbagai nilai kehidupan yang terkandung di dalamnyapun perlahan sirna di balik derasnya badai zaman. Berdasar pada alasan ini maka penulis berusaha untuk menggali dan menemukan kembali nilai-nilai edukatif dalam perkawinan tradisional masyarakat Natakoli, di bawah judul: “Nilai Edukatif Perkawinan Dalam Ritus Wawi Dadi Di Kampung Natakoli, Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka” Perumusan Masalah Untuk memperdalam masalah ini, maka penulis merumuskan pokokpokok permasalahan sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud dengan ritus Wawi Dadi dalam perkawinan adat di Kampung Natakoli, Kabupaten Sikka? 2. Bagaimana praktik ritus Wawi Dadi dalam konteks perkawinan adat masyarakat Natakoli? 3. Apa saja nilai-nilai edukatif dalam ritus Wawi Dadi? Ritus Wawi Dadi merupakan upacara puncak dalam seluruh rangkaian upacara perkawinan dalam masyarakat kampung Natakoli. Daam upacara ini akan disembelih seekor babi yang darahnya akan dioleskan pada leher pengantin sebagai darah perjajnjian ikatan perkawinan atau meterai dari perkawinan itu sendiri serta penyuapan hati babi sebgai simbol persatuan cinta suami istri. Kurban babi yang disembelih inilah yang dikenal dengan istilah Wawi Dadi. Wawi Dadi adalah kurban babi yang disembelih yang menjadikan mereka suammi istri. Bertolak dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, ada beberapa pokok pikiran sebagai kesimpulan atau jawaban sementara berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan. Menurut informan kunci dan studi kepustakaan yang telah dilaksanakan bahwa sejak semula leluhur orang Natakoli menjunjung tinggi nilai perkawinan. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Demi menjaga kesucian perkawinan itu maka setiap orang tua selalu menasihati putra mereka yang hendak menikah demikian: “Ra’ik au ga’i beta wain. Niat ‘waun naha plaha oti oha, dadi mipin ia hagong wohon Sape tana ‘inga salang, gu reta ma gou wua reta l’ekong pitu, Rape d’ekak nora ‘linang, gu lau lema lepo beta wain. Ra’ik au ga’i herong men, Lero wawa naha sorong oti loni, Dadi blawong ia kiring rena. Sape niat eh poa gu reta ma bata ta’a reta l’emang walu Mata ta’a nora wuin, gu lau ‘rawit woga heron men. gu wua ‘udek ganu wain, Ta’a pahar ganu men. Syair di atas merupakan nasihat dari orang tua kepada putra mereka yang hendak menikah, agar mengikuti tata cara yang berlaku. Anak dilarang untuk mengambil jalan pintas seperti menculik atau menghamili anak gadis orang, di luar perkwinan yang sah secara adat. Lebih daripada itu, dalam keberadaannya sebagai mono pluralis, masyarakat Kampung Natakoli memaknai perkawinan sebagai suatu realitas manusiawi sekaligus bersifat sakral. Sebagai realitas manusiawi karena perkawinan merupakan suatu ungkapan kepribadian manusia sebagai makluk sosial dalam relasinya dengan yang lain, dan bersifat sakral karena di sana terungkap inti dari hakikat keberadaan manusia dalam hubungan dengan yang sakral dan semuanya terungkap dalam syair-syair adat yang penuh magna. Perkawinan dalam adat dan kebiasaan masyarakat di Kampung Natakoli memilki beberapa tahapan dan setiap tahap memiliki arti dan magnanya tersendiri. Puncak dari seluruh tahapan upacara itu adalah ritus “wawi dadi”. Ritus wawi dadi merupakan upacara pengesahan pasangan yang hendak menikah, sehingga mereka dinyatakan resmi menjadi suami istri dan tidak dapat dipisahkan lagi. Ketidakterpisahan ini, misalnya dinyatakan dalam ungkapan “naha blewut gu belung, naha boga gu loar” yang diungkapkan oleh tanta sulung ketika menghantar pengantin dalam kamar yang telah disediakan bagi kedua mempelai. Dalam ritus wawi dadi kedua mempelai baik pria maupun wanita, dibekali dengan berbagai nasihat bijak agar mereka sungguh-sungguh bertangggung jawab sebagai pria dan wanita dewasa yang telah diikat dalam suatu perkawinan yang sah. Sekali lagi, nasihat-nasihat bijak itupun terlukis dalam ungkapan-ungkapan syair adat yang kaya nilai. Secara umum, ada dua nilai edukatif yang dominan dalam syair-syair adat itu yakni nilai kesetiaan dan tanggung jawab. Dalam ritus “wawi dadi”, baik pengantin pria maupun wanita diingatkan agar selalu setia satu sama lain. Dalam ritus ini, komitmen mereka (mempelai) dimeteraikan dengan darah (darah babi) yang dioleskan pada leher mereka (tanda kesetiaan), hati dan cinta mereka dipersatukan dengan makan dari satu hati babi yang sama, serta dipesatukan secara fisik dalam satu kamar, di atas satu ranjang (lema ola uneng). Simbol-simbol itu kemudian dipertegas dengan ungkapan adat “naha blewut gu belung, naha boga gu loar, ata wain/la’in bait ba’a ganu plea ganu klega ata men belar ba’a ganu roho ganu tole” (‘sampai mati baru bercerai, sebab istri/ suami orang telah pahit seperti tuba dan anak orang pun telah kesat seperti ubi hutan’). Singkatnya baik mempelai pria maupun wanita dituntut untuk setia. Selain kesetiaan, dalam ritus wawi dadi juga kedua mempelai dinasihati agar berusaha untuk selalu menjadi pria dan wanita yang bertanggung jawab, hidup harmonis dan saling melayani. Nasihat-nasihat itu tertuang dalam ungkapan-ungkapan adat yang indah dan penuh arti.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BH Aesthetics
B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics
H Social Sciences > HQ The family. Marriage. Woman
J Political Science > JS Local government Municipal government
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: Tefa Frisca Yolanda
Date Deposited: 14 Mar 2020 01:23
Last Modified: 14 Mar 2020 01:23
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2175

Actions (login required)

View Item View Item