OKI, Oktofianus (2025) Konsep Manusia sebagai Parlêtre Menurut Jacques Lacan dan Relevansinya bagi Manusia di Era Artificial Intelligence (AI). Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
|
Text
ABSTRAK.pdf Download (759kB) |
|
|
Text
BAB I.pdf Download (652kB) |
|
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Repository staff only Download (702kB) | Request a copy |
|
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Repository staff only Download (958kB) | Request a copy |
|
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (721kB) | Request a copy |
|
|
Text
BAB V.pdf Download (629kB) |
|
|
Text
DAFTAR PUSTAKA DAN HASIL CEK PLAGIASI.pdf Download (835kB) |
|
|
Text
ABSTRAK.pdf Download (759kB) |
Abstract
Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan dunia sekaligus memunculkan pertanyaan filosofis mendasar tentang identitas, kesadaran, dan batas antara manusia dan mesin. Dalam konteks ini, pemikiran Jacques Lacan tentang manusia sebagai parlêtre atau makhluk yang berbicara menawarkan perspektif kritis untuk memahami keunikan manusia di tengah dominasi teknologi. Lacan menekankan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan struktur yang membentuk kesadaran, ketidaksadaran, dan identitas manusia. Konsep ini menjadi relevan ketika AI, meskipun mampu meniru bahasa manusia, tidak memiliki pengalaman subjektif atau kemampuan menginternalisasi makna secara autentik. Latar belakang masalah penelitian ini berakar pada ancaman reduksi subjektivitas manusia oleh logika algoritma, di mana AI berpotensi mengikis kerumitan eksistensi manusia yang dibangun melalui bahasa, hasrat, dan ketidaksadaran. Urgensi penelitian ini terletak pada tantangan yang dihadapi manusia di era digital, seperti yang diingatkan oleh Yuval Noah Harari mengenai "Alien Intelligence" yang berpotensi mendominasi manusia. Kecerdasan buatan (AI), dengan kemampuannya mengolah data dan bahasa secara efisien, sering kali mengabaikan dimensi emosional, moral, dan eksistensial yang melekat pada manusia. Lacan mengkritik reduksi manusia menjadi sekumpulan data dengan menunjukkan bahwa subjektivitas manusia terbentuk melalui dinamika bahasa yang kompleks, melibatkan ketidaksadaran, hasrat, dan interaksi simbolik. Misalnya, AI mungkin dapat menghasilkan puisi atau analisis teks, tetapi tidak mampu merasakan keindahan atau memahami makna eksistensial di balik kata-kata. Ketimpangan ini menimbulkan kekhawatiran tentang dehumanisasi, di mana manusia kehilangan otonomi dan kedalaman subjektifnya dalam sistem yang dikendalikan oleh algoritma. Relevansi konsep parlêtre Lacan terletak pada kemampuannya menjawab tantangan filosofis dan etis di era AI. Pertama, Lacan membedakan manusia dari mesin melalui tiga dimensi pembentukan subjek: the Real (yang tidak terungkap oleh bahasa), the Imaginary (pembentukan identitas melalui citra), dan the Symbolic (tatanan bahasa dan norma). AI hanya beroperasi pada level simbolik tanpa menyentuh dimensi yang riil atau yang imajiner, yang menjadi sumber kreativitas dan keunikan manusia. Kedua, Lacan menegaskan bahwa hasrat manusia bersifat dinamis dan tak terpuaskan, selalu bergerak dalam jaringan bahasa dan hubungan sosial. Sementara AI bekerja berdasarkan pola statis, manusia sebagai parlêtre terus menegosiasikan makna melalui pengalaman hidup yang tidak terprediksi. Ketiga, konsep ini menyoroti perlawanan terhadap dehumanisasi dengan menekankan nilai-nilai estetika, etika, dan interdisipliner dalam pengembangan teknologi. Solusi yang ditawarkan oleh penelitian ini bersifat multidimensi. Pertama, pendekatan pendidikan humaniora perlu ditingkatkan untuk melatih literasi kritis terhadap teknologi, memastikan bahwa AI digunakan sebagai alat yang melayani manusia, bukan mengendalikannya. Pendidikan seni, filsafat, dan psikoanalisis dapat membantu masyarakat memahami batasan AI dan mempertahankan subjektivitasnya. Kedua, pengembangan AI harus mengintegrasikan prinsip- prinsip etika yang menghargai kompleksitas manusia, seperti privasi, otonomi, dan keadilan. Misalnya, algoritma rekomendasi media sosial seharusnya tidak hanya mengejar keterlibatan pengguna (engagement), tetapi juga mempromosikan dialog yang mendalam dan beragam. Ketiga, kolaborasi antara ilmuwan, filsuf, dan seniman diperlukan untuk menciptakan kerangka teknologi yang berpusat pada manusia (human-centered AI). Lacan mengingatkan bahwa bahasa manusia mengandung ambiguitas dan ketidaklengkapan yang justru menjadi sumber kreativitas. Dengan merangkul ketidaksempurnaan ini, teknologi dapat dirancang untuk memperkaya, bukan menggantikan, pengalaman manusia. Secara filosofis, penelitian ini juga mengajak refleksi tentang batasan AI. Konsep parlêtre menunjukkan bahwa mesin tidak akan pernah memiliki kesadaran atau ketidaksadaran, karena AI tidak mengalami "kekurangan" (lack) yang mendorong manusia untuk terus mencari makna. Solusi jangka panjang adalah mengembangkan AI yang transparan dan terkendali, sambil memperkuat institusi sosial yang melindungi otonomi manusia. Misalnya, regulasi diperlukan untuk mencegah penggunaan AI dalam pengawasan massal atau manipulasi opini publik. Selain itu, seni dan sastra harus tetap menjadi ruang ekspresi manusia yang tidak tereduksi oleh algoritma. Kesimpulannya, pemikiran Lacan tentang parlêtre bukan hanya merupakan alat teoretis untuk memahami manusia, tetapi juga panduan etis di era AI. Dengan mengakui bahwa subjektivitas manusia dibentuk oleh bahasa namun juga melampauinya, kita dapat mengembangkan teknologi yang menghormati kompleksitas eksistensi manusia. Solusi yang diusulkan yaitu pendidikan humaniora, etika AI, dan kolaborasi interdisipliner yang bertujuan untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengikis nilai-nilai kemanusiaan. Pada akhirnya, relevansi Lacan terletak pada pesannya yang tegas: di dunia yang semakin terdigitalisasi, manusia harus tetap menjadi subjek yang aktif, kritis, dan tidak pernah berhenti menciptakan makna.
| Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
|---|---|
| Uncontrolled Keywords: | Artificial Intelligence (AI); Jacques Lacan; Manusia; Parletre; Psikoanalisa. |
| Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) B Philosophy. Psychology. Religion > BD Speculative Philosophy |
| Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
| Depositing User: | Oktofianus Oki |
| Date Deposited: | 13 Oct 2025 05:45 |
| Last Modified: | 13 Oct 2025 05:45 |
| URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/22162 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |
