API, Damianus Libertus Deke (2021) Kearifan Garru Watu Hondi Di Suku Homba Wawi Desa Maliti Bondo Ate Kabupaten Sumba Barat Daya. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.
Text
cover.pdf Download (700kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (337kB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Repository staff only Download (362kB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Repository staff only Download (515kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (516kB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (410kB) |
Abstract
Kompleksitas budaya sebagai akibat dari pembagian teknologi dan zaman dengan arus globalissi yang tidak bisa dibendung merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang dan harapan bagi antropologi dan kebudayaan untuk menghadapinya secara imiah, akademis, empiris dan praktis. Modernisasi jika tidak disikapi secara kritis, dengan berbagai daya tarik dan propogandanya akan dapat membius individu atau sekelompok orang sehingga lupa akan identitas dan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan pada akhirnya akan berdampak pada terkikisnya nilai-nilai luhur budaya-budaya lokal. Sikap pengkultusan terhadap modernisasi yang begitu kompleks cepat ato lambat akan memperburuk keadaan dan secara tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap eksistensi budaya suatu bangsa. Setyawti dalam bukunya yang berjudul Budaya Indonesia, Kajian Arkeolog, Seni dan Sejarah, menjelaskan bahwa kearifan lokal dapat diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan tradisional Suku-Suku bangsa. Kearifan lokal secara universal tidak hanya berupa norma-norma atau nilai-nilai budaya saja melainkan juga segala unsur dan gagasan yang ada dan tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses penghayatan terhadap suatu ajaran atau nilai- nilai yang panjang dan berlangsung secara turun temurun sebagai akibat dari interaksi antara manusia dan lingkungan, dimana individu atau sekelompok orang melakukan kegiatan dan berperilaku sesuai dengan ide atau gagasannya sehingga menghasilkan karya tertentu. Kearifan lokal menjadi pengetahuan dasar dari kehidupan manusia yang didapatinya dari pengalaman atau pun kebenaran hidup yang tumbuh dari masyarakat dan hal ini juga bisa bersifat abstrak maupun kongkret. Salah satu bentuk karya masa lalu yang sampai saat ini masih bertahan yakni berupa bangunan-bangunan Megalitik. Bangunan megalitik tersebut merupakan hasil dari ide dan gagasan yang diperoleh oleh individu ataupun sekelompok orang yang secara kogkret dapat ditemui di masyarakat. Salah satu suku yang sampai saat ini masih menjalankan kebudayaan Megalitikum atau budaya Megalitik ialah Suku Homba Wawi yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kecamatan Kodi Bangedo, Desa Maliti Bondo Ate. Salah satu bentuk kebudayaan Megalitiknya berupa bangunan kubur yang didirikan dengan mempergunakan batu-batu besar yang berpola dolmen. Arkeologi sering menyebut Sumba sebagai The Living Magalithic Culture atau budaya Megalitik yang terus hidup dan tradisi tersebut muncul sekitar 4500 tahun dan sampai hari ini masih dipraktekan. Hal ini nyata dari banyaknya temuan-temuan kubur batu hampir di seluruh daratan pulau Sumba. Kebudayaan tersebut menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarkat yang berada di pulau Sumba. Dalam pandangan masyarakat Sumba pada umumnya setiap manusia yang telah meninggal akam memperoleh keselamatan dari Ndapataki Tamo-Ndapataki Ngara (yang tidak dapat disamakan dan yang tidak dapat dinamakan). Setiap manusia yang telah meninggal akan memperoleh keselamatan asalkan manusia bertindak secara baik terhadap Sang Pencipta sebagai penyelenggara kehidupan, maka manusia akan memperoleh keselamatan dari Sang Pencipta kehidupan. Jika tidak menghormati kehidupan yang Ilahi atau yang Teringgi maka akan memperoleh malapetaka. Marapu merupakan kepercayaan asli mayarakat Suku Homba Wawi pada khususnya dan Sumba pada umumnya. Selain itu juga Marapu memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat setempat. Dalam membangun hubungan dengan Marapu pada umumnya masyarakat Suku Homba Wawi dalam membangun hubungan dengan Marapu melalui tradisi berupa ritual-ritual adat. Melihat realita di atas penulis mencoba mengkaji unsur-unsur penting yang terkandung dalam tradisi Garru Watu Hondi yang ada pada masyarakat Suku Homba Wawi, sehingga tradisi yang ada di dalam masyarakat dari akar budaya lokal tidak akan kehilangan identitas dan jati dirinya di tengah arus globalisasi. Dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji unsur- unsur penting yang terkandung di dalam tradisi Garru Watu Hondi yang pada masyarakat Suku Homba Wawi sehingga nilai- nialai tradisi yang ada di dalam masyarakat dari akar budaya lokal tidak akan kehilangan identitas dan jati dirinya di tengah arus globalisasi. Hal ini berupa Nilai Religius (hubungan manusia dengan Tuhan), Nilai Solidaritas (hubungan manusia dengan sesama dalam membangun kerja sama) dan Nilai Etika Ekologis(hubungan manusia dengan alam, bagaimana manusia menjaga dan melestarikan alam sekitar tempat tinggal. Keseluruhan analisis dan refleksi filisofis terhadap salah satu tradisi Garru Watu Hondi yang ada di suku Homba Wawi, Desa Maliti Bondo Ate Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya, oleh penulis dalam penelitian ini menemukan tiga unsur pokok yang terdapat dalam tradisi tersebut yang ada di masyarakat dan di anggap memiliki nilai yang bersifat universal yakni Pertama Nilai Religius, Kedua Nilai Solidaritas Dan Yang Ketiga Nilai Etika Ekologi. Pertama Nilai Religius, Penghormatan kepada leluhur pada dasarnya juga pengandaian kepercayaan kepada Ilahi. Para leluhur dihormati karena dalam pandangan masyarakat setempat adanya kedekatan mereka dengan yang Ilahi karena tanpa yang Ilahi para leluhur menjadi tidak berarti dan tidak dapat dihormati karena mereka tidak berbeda dengan kerabat mereka yang masih hidup. Dimensi religius merupakan hal terpenting tanpa adanya kesadaran maka segala pelaksanaan ritual adat hanya mengungkapkan sebuah kedangkalan. Masyarakat sangat menyadari pentingnya dimensi religius dalam setiap perjamuan. Dengan kesadaran penghormatan maka saat pelaksanaan upacara adat selalu di awali dengan sapaan Ina La Mawolo-Bapa Na Marawi hal ini merupakan sapaan kepada yang Ilahi sebagai penyelanggara hidup. Sapaan ini juga sebenarnya tersirat undangan agar yang Ilahi dan para leluhur datang dan ikut hadir bersama mereka dan mendampingi mereka dalam seluruh proses pelaksanaan upacara adat selain itu juga merupakan sapaan untuk memohon restu dari para leluhur. Esensi pelaksanaan doa dalam tradisi Garru Watu Hondi bagi para penganut kebudayaan marapu mengakui bahwa hanya pada yang ilahi dan pada leluhur mreka menemukan makna tertinggi dari kehidupan dan dasar terdalam dari eksistensi keberadaan. Hal ini pelaksana upacara Garru Watu Hondi sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah meninggal dengan memberikan yang terbaik bagi mereka. Dalam pandangan ini, bahwa mereka yang telah meninggal akan kembali kepada yang Ilahi dan kepada leluhur yang mendahului menanti. Pembuatan kubur batu mengalitik menggambarkan sebuah kehidupan yang abadi karena sifat batu yang kuat dan tahan lama. Kedua, Nilai Solidaritas, Salah satu kegian masyarakat tradisional berpikir secara sosial-koliktif, dalam hal ini manusia memandang terlebih dahulu dirinya dalam kebersamaan dengan sesama dalam kelompok serta dalam masyarakat. Hal ini suatu pribadi hanya akan mempunyai arti apabila ia terlibat dalam kesekluruhan hidup sosial. Pembentukan norma dan hukum moral dalam tradisi garru watu hondi yang ada di masyarakat Suku Homba Wawi merupakan hasil penciptaan dari cara berpikir kolektif. Ketiga, Nilai Etika Ekologi, berbicara khusus mengenai hubungan manusia dengan alam dalam hal ini perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup. Akan hal ini memahami kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari perlakuan manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta. Manusia sebagai mahkluk sosial mengambil segala sesuatu dari lingkaungan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhannya dan manusia diharapkan memilihara bumi dan tidak merusak lingkangan yang ada merupakan bukti penguasaan diri manusia. Secara khusus berbicara tentang alam semesta dalam pandangan para penganut Marapu diatur dalam Lii Ndewa-Lii Pomba, dalam pendangan leluhur Merapu terhadapa alam semesta, pertama, dimana tanah diyakini sebagai ibu pertiwi, Kedua, Tanah Bapa Babuta-Tanah Bapa Lurita, Tanah Bapa Bamu Belita Jaka Ta Meti, yang memiliki makna: bumi/mengidupkan/ menyimpan kembali apabila kita mati. Ketiga, Na Make Pudatala Pari Paku-Na Bapa Bu Buta-Na Kaleku Langga artinya: ibu yang memilihara dengan nasi yang layak dan menyesui laksanan pepaya manis, dalam artian bahwa tanah dan air merupakan sumber kehidupan. Dan Keempat, air hujan dari langit diyakini sebagai air susu ibu yang dari langit, Na Pobu Maliru-Ma Pabulu Marau artinya: yang memerah dari ajauh atau menyusui dari jarak jauh dalam artian air hujan merupakan sumber kehidupan
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) B Philosophy. Psychology. Religion > BH Aesthetics B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics G Geography. Anthropology. Recreation > GN Anthropology |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | Antonia M. Ngole |
Date Deposited: | 04 Jul 2022 00:44 |
Last Modified: | 04 Jul 2022 00:44 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/5828 |
Actions (login required)
View Item |