TAENA, Desiderius Mikhael (2021) Pribadi Anak Bungsu: Gambaran Manusia Berdosa Yang Bertobat (Analisis Eksegetis Atas Teks Lukas 15:1-3, 11b-32). Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Text
ABSTRAK.pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (1MB) |
Abstract
Tindakan si anak bungsu membahasakan bagamana seorang berdosa itu. Dari perasaan tidak kerasan dengan Allah, orang-orang berdosa memutuskan untuk berpaling dari hadapan wajah-Nya. Mereka menganggap bahwa hukum Allah bukanlah cara Allah untuk membebaskan mereka (dari bahaya kematian), melainkan sebagai pengekang kebebasan mereka (untuk melakukan apa pun yang disenangi mereka). Selama manusia berdosa, rahmat Allah yang menghidupkan selalu terbuka baginya. Namun jika tanpa kerja sama dengan rahmat itu, manusia xi tidak akan dapat selamat. Kerja sama ini harus dimulai dengan pertobatan dari pendosa itu sendiri. Dengan tetap tinggal dalam situasi dosa, manusia tidak dapat memperoleh statusnya sebagai anak Allah. Ia masih berada di luar lingkaran keluarga Allah, dan dengan demikian tidak dapat memperoleh rahmat kehidupan. Dengan berdosa, ia akan binasa, sedangkan jika ia bertobat ia akan memperoleh hidup. Dalam perumpamaan, sang ayah merangkul mereka berdua: baik si anak bungsu maupun si anak sulung yang dikuasai kemarahannya. Cinta yang ia curahkan kepada anak-anaknya adalah sama dan tiada pembedaan. Mereka tetap adalah anaknya, dan segala miliknya adalah juga milik mereka, tak peduli bagaimana masa lalu mereka. Demikianlah Allah mengasihi seluruh umat manusia, tak peduli dengan dosa yang dilakukan mereka. Ketika mereka dengan kesadaran diri dan kehendak bebasnya datang kepada Allah, mengakui kesalahannya dengan segala rencana perbaikan diri, maka Allah akan menerima mereka dengan belas kasih-Nya yang menghidupkan. Pertobatan pertama-tama harus dimulai dari pikiran. Dalam perumpamaan ini kita melihat dalam ayat 17-18, bagaimana si anak bungsu memulai pertobatannya dengan permenungan akan kehidupannya. Ia berbicara kepada dirinya sendiri: “di sini saya mati kelaparan, sedangkan di rumah bapaku ada kelimpahan makanan. Saya sudah berbuat suatu kesalahan besar dengan meninggalkannya. Saya akan mati! Buat apa saya terus menyusahkan diri saya di sini? Lebih baik saya pulang kepada bapa dan mengakui kesalahan saya. Biarpun saya tidak diterima sebagai anak, setidaknya saya dapat mengabdikan diri saya xii sebagai seorang hamba di sana. Dengan begini, saya akan selamat.” Dengan pengharapannya ini, ia memberanikan diri untuk pulang. Ia mewujudnyatakan apa yang dipikirkannya. Seorang pendosa pertama-tama perlu untuk membenamkan dirinya dalam kerja sama dengan rahmat (pengampunan) yang Allah sediakan. Ia perlu berusaha untuk mencari, menemukan dan menyadari bahwa Allah senantiasa mencintai dirinya dan cinta Allah ini tidak dapat diubah oleh apa pun. Lukas menggunakan tokoh ayah sebagai gambaran kasih Allah yang tak terbatas ini. Sebagaimana sang ayah yang menyambut kepulangan anaknya dengan belas kasih dan perayaan sukacita yang besar, demikian pula Allah akan menyambut setiap pendosa dengan kemaharahiman dan belas kasih-Nya dalam sukacita seisi surga. Tindakan si anak sulung yang tidak ingin menerima kepulangan adiknya menggambarkan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang merasa tidak puas dengan tindakan Yesus. Mereka masih berada pada pemahaman yang salah akan kasih Allah. Meski demikian, kekeliruan itu tidak menutup kasih Allah kepada mereka. Kasih Allah tetap merangkul mereka, sama seperti Ia merangkul kaum pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Sang ayah yang keluar dari rumah dan mencoba memberikan pengertian yang benar kepada si anak sulung merupakan tindakan yang serupa dengan apa yang dilakukan Yesus saat itu. Yesus yang adalah Allah mencoba memberikan pengertian kepada mereka tentang kasih Allah melalui penyampaian perumpamaan ini. Melalui tokoh anak sulung, Yesus ingin mengatakan bahwa “segala yang dimiliki Allah adalah milik mereka pula” (bdk. ayat 32), oleh karenanya pertobatan orang-orang berdosa tidak boleh hanya xiii menjadi sukacita Allah, tetapi harus juga menjadi sukacita mereka. Yesus mengakhiri perumpamaan ini dengan akhir yang “menggantung”, yang memantik mereka untuk melakukan refleksi atas diri mereka sendiri. Pada intinya kasih Allah kepada mereka adalah sama seperti kasih-Nya kepada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Yang diperlukan adalah tanggapan dari mereka. Jika mereka juga turut bertobat seperti si anak bungsu, maka mereka akan selamat.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) B Philosophy. Psychology. Religion > BC Logic B Philosophy. Psychology. Religion > BS The Bible B Philosophy. Psychology. Religion > BT Doctrinal Theology |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | SH Yakobus Naben |
Date Deposited: | 04 Jul 2022 01:57 |
Last Modified: | 04 Jul 2022 01:57 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/5852 |
Actions (login required)
View Item |