Konsep Memoria Passionis Menurut Johann Baptist Metz

BHEO, Petrus Krisologus (2022) Konsep Memoria Passionis Menurut Johann Baptist Metz. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (522kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (178kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (240kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (283kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (321kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (539kB)

Abstract

Manusia merupakan insan yang meruang dan mewaktu. Ruang dan waktu adalah bingkai yang di dalamnya terwujud dinamika kehidupan manusia. Di dalam waktu manusia mengungkapkan dirinya sebagai tindakan pengaktualisasian diri. Tindakan-tindakan manusia inilah yang terpahat sebagai fakta-fakta sejaraha pada masa kita saat ini. Fakta mengenai adanya penderitaan tidak bisa dilepas-pisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Dengan adanya keyakinan demikian tidak serta-merta mengubah cara menyikapi setiap orang terhadap fakta penderitaan ini. Ada yang cenderung menerima penderitaan sebagai hal yang positif dan ada juga yang menolaknya serta melupakannya. Penderitaan tidak dialami manusia sebagai individu melainkan juga manusia sebagai anggota masyarakat. Wajah penderitaan seperti peperangan, peristiwa holocaust, kasus pelanggaran hak asasi manusia, terorisme dan lain sebagainya, merupakan bukti nyata dari masalah sosial yang tengah dihadapi masyarakat. Masalah penderitaan seperti ini adalah persoalan yang menggelisahkan sejarah kehidupan manusia. Sejarah pada hakikatnya merupakan peristiwa masa lalu dan merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Sejarah memiliki dimensi edukatif yakni menghubungkan antara generasi sekarang dengan generasi terdahulu. Sejarah juga mempelajari berbagai peristiwa. Peran sejarah senantiasa sebagai mediator antar generasi. Sejarah sangat penting dalam membangun dinamika kehidupan manusia karena melaluinya manusia dapat belajar untuk mengembangkan kehidupannya. Namun di sisi lain, sejarah memiliki sisi kelam. Fakta adanya penderitaan merupakan hal yang tidak bisa dilepaspisahkan dari sejarah. Fakta kehadiran penderitaan juga secara bersamaan melahirkan wajah-wajah korban. Sejak gaung Aggiornamento dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) dikumandangkan, Gereja menyadari peran pentingnya di dalam dunia.1 Peranan itu diwujudkan Gereja dengan memelopori lahirnya teologi-teologi yang menjawab situasi realitas konkrit manusia. Salah satu di antaranya adalah teologi politik. Johann Baptist Metz, seorang Teolog Jerman adalah pencetus Teologi Politik baru yang senantiasa menempatkan para korban sebagai basis pergumulan teologinya. Bagi Metz, Gereja tidak bisa menutup mata terhadap realitas para korban. Gugatan dan kritikannya disampaikannya terhadap Gereja dalam menghayati Iman akan Yesus Kristus. Dalam opus magnus-nya, Faith In History And Society, Metz mengkritik bahwa Gereja dalam kaitan dengan arah atau tujuan kebijakan-kebijakan yang diambil, lebih menguntungkan kaum borjuis/kapitalis di satu sisi dan sekaligus mengabaikan kaum lemah di sisi lainnya. Dalam hal ini, Gereja dalam pandangannya sudah keluar dari panggilan dasarnya sebagai sakramen yakni menjadi tanda yang kelihatan bagi keselamatan yang tidak kelihatan.2 Pergumulan Metz ini bukanlah tanpa dasar. Dia melihat peradaban dan perkembangan senantiasa mempengaruhi Gereja dalam pengambilan kebijakannya. Sebagai teolog yang mengalami langsung peristiwa Auswitch, Metz membangun teologinya dari kacamata para korban. Dunia para korban adalah dunia yang terlupakan (amnesia). Hal inilah yang ditolak oleh Metz dalam konsepnya memoria passionis. Konsep memoria passionis ini secara gamblang diterjemahkan sebagai “Ingatan 1Thomas P. Rausch, Katolisisme Bagi Kaum Awam, (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal. 35 2Paul Budi Kleden.,Op.Cit., hal. 67 akan penderitaan”. Penderitaan sebagai sejarah dari kehidupan manusia harus dihadirkan kembali (anamnesis) guna menggerakkan adanya perubahan masa sekarang sehingga penderitaan itu tidak terulang kembali. Ini adalah suatu usaha untuk mengembalikan pribadi sebagai subjek sejarah bukan sebagai korban dari sejarah yang dihasilkan oleh periode waktu sekarang ini. Selain itu pula, penghadiran kembali itu juga mendorong adanya penerimaan sejarah para korban dalam kehidupan masyarakat. Sejarah bukan hanya milik para pemenang melainkan juga milik mereka yang menjadi korban sejarah. Fakta sejarah mengenai adanya penderitaan dan wajah para korban tidak hanya tinggal sebagai pengalaman sejarah melainkan juga sebagai memori. Memori sebagai pengalaman yang mengendap, tidak nampak namun senantiasa berada dalam bayangan para korban. Menata ulang sejarah berarti kita harus mengembalikan para subyek sejarah pada tempatnya yakni eksis dalam dinamika hidup harian dan memberi sumbangsih bagi kehidupan. Tindakan konkrit itu bukan hanya pada tataran retorika saja melainkan harus sampai pada aksi nyata. Aksi ini tidak serta merta dapat terwujud jika hanya bergerak dalam ranah personal saja tetapi harus juga menjadi satu gerakan kolektif. Gereja yang mengidentikkan diri dengan kumpulan yang diselamatkan oleh Kristus pun ada dalam gerakan aksi ini. Pembicaraan tentang Allah tidak mungkin membelakangi fakta akan adanya penderitaan. Tindakan ini tidak hanya sebatas ingatan/ pengenangan (Memoria) melainkan sampai taraf solidaritas (solidarity). Berkaitan dengan hal itu panggilan setiap umat beriman adalah menyadari akan bahaya sejarah yang mendistorsi subjek-subjek sejarah ini. Kritik atas sejarah demikian pun harus dilakukan. Gereja sebagai himpunan umat beriman pun tidak serta-merta menjadi ‘singa ompong’ dalam meretas akar permasalahan dalam kehidupan umat beriman. Penekanan Metz akan subjek- subjek sejarah yang adalah para korban merupakan suatu undangan bagi Gereja untuk kembali ke dasar panggilannya untuk menjadi sakramen keselamatan bagi setiap insan beriman. Gagasan Metz ini sekiblat dengan maksud Dokumen Gaudium et Spes yakni menjadikan sukacita, harapan, kesedihan dan dukacita sebagai basis solidaritas Gereja terhadap pergolakan dunia. Dalam hal ini Metz mengungkapkan perhatiannya kepada para korban yang sering dilupakan dan mengingatnya dalam sejarah manusia adalah tindakan yang urgent. Sembari dengan itu, Metz menekankan bahwa mengingat (memoria, anamnesis) merupakan tindakan awal, sedangkan yang selanjutnya dilakukan adalah menarasikan kisah korban dan juga mengambil tindakan solidaritas kepada para subjek sejarah yakni para korban. Kisah traumatis seperti Genosida, Auschwitz, kasus G-30S PKI, dan masih banyak lagi menjadi panggilan utama Gereja untuk mengusahakan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat beriman. Teologi harus berkonfrontasi langsung dengan masalah masyarakat agar teologi membumi dalam artian menjadi jawaban bagi permasalahan konkrit dalam kehidupan beriman. Dengan itu sudah menjadi suatu keharusan bahwa teologi yang mendasarkan diri pada pengalaman penderitaan seperti yang diusulkan oleh Metz sangat membantu Gereja dalam menjalankan karya misi dan perutusan di tengah dunia. Gereja harus menjadi penegak keadilan bagi semua umat beriman. Gereja harus menunjukkan keberpihakan pada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan terpinggirkan, mereka yang menjadi korban penindasan dan peperangan dan masih banyak lagi korban-korban yang “didiamkan” oleh sejarah. Merangkul mereka dan menempatkan mereka pada posisinya adalah tugas dan panggilan Gereja.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Uncontrolled Keywords: Metz,Memoria Passionis, Narasi, Solidaritas
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BV Practical Theology
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Fil Petrus Krisologus Bheo
Date Deposited: 16 Aug 2022 02:39
Last Modified: 16 Aug 2022 02:39
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/7641

Actions (login required)

View Item View Item