Metode Induksi Menurut Francis Bacon

MALI, Yohanes Fransiskus (2017) Metode Induksi Menurut Francis Bacon. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.

[img] Text
01 COVER.pdf

Download (478kB)
[img] Text
02 BAB I.pdf

Download (269kB)
[img] Text
03 BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (323kB)
[img] Text
04 BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (247kB)
[img] Text
05 BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (480kB)
[img] Text
06 BAB V.pdf

Download (218kB)

Abstract

Semenjak dimulainya peradaban manusia berkembang di bumi, semenjak itu pula proses pemikiran berkembang. Dalam tahapan cara-cara ataupun metode yang dikembangkan oleh manusia dalam proses berpikir senantiasa semakin mengalami kemajuan. Peradaban cara berpikir (filsafat) yang maju lebih dahulu berkembang di Yunani, bisa dibuktikan dengan catatan historis para filsuf seperti Aristoteles, Plato, Archimedes dan filsuf lainnya. Keberadaan mereka setidaknya menjadi sumber referensi sejarah yang menandai kemunculan dari peradaban berpikir manusia yang pertama kalinya. Proses berpikir yang disertai kontemplasi pada akhirnya menjawabi pertanyaan-pertanyaan akal manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini tercipta sebuah epistemologi dasar. Lebih lanjut, dalam sejarah filsafat, ajaran Plato tentang manusia disebut dualisme. Dipahami bahwa pada dasarnya manusia terdiri dari dua elemen penting (jiwa dan badan) yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bergerak dari hal dasar ini, manusia senantiasa diperhadapkan dengan persoalan hidup yang konkret. Manusia dengan segala keotentikannya, berani untuk mengalaminya (mengamati dan memikirkan lebih lanjut). Terhadap situasi konkret yang diamati, manusia mengalami tahap awal yang disebut adaptasi. Di sinilah daya fungsional diri manusia pantas untuk diaktualisasikan. Lebih lanjut, dengan adanya alat indra yang dimiliki, manusia diwajibkan untuk berani mengambil satu keputusan yang pasti dengan tujuan agar ia boleh mengetahui dengan jelas tentang hal penting apa yang hendak dialami dan diketahui. Dengan demikian, ingin disangsikan bahwa manusia tidak hanya sekedar berpikir tetapi lebih jauh lagi bahwa manusia adalah makhluk kompleks yang senantiasa membutuhkan dua aktivitas penting dari dirinya sendiri untuk mengetahui sesuatu yaitu kegiatan xi pencerapan indrawi dan kegiatan berpikir (bernalar). Kegiatan untuk mengetahui tersebut tentunya melalui suatu tahapan atau proses yang terbilang logis dan masuk akal. Dengan adanya upaya penggabungan yang berdaya kooperatif ini, akan dengan sendirinya membantu manusia untuk menyelidiki sesuatu yang tertuju pada suatu pencapaian yang final yaitu Ilmu Pengetahuan. Hal inilah yang menjadi fokus tinjauan kritis dari Bacon seorang sastrawan sekaligus filsuf Inggris yang dikenal sebagai bapak perintis salah satu aliran filsafat yaitu Empirisme. Bacon hidup pada saat peralihan pola pikir Abad Pertengahan ke pola pikir zaman Renaissans. Dua zaman tersebut menjadi latar belakang pemikiran Bacon tentang ilmu pengetahuan (ditambahkan juga tentang metode silogisme deduktif dari Aristoteles yang turut mempengaruhi proyek ilmiahnya dalam menciptakan metode induksi). Secara rinci, Bacon tidak setuju terhadap pola pikir ilmu pengetahuan Abad Pertengahan yang bersifat abstrak, deduktif, teosentris dan dipengaruhi oleh otoritas tertentu. Melainkan, ia lebih percaya pada ilmu pengetahuan yang lebih empiris, konkrit dan antroposentris. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta yang kemudian disebut sebagai pengalaman. Pengalaman dari hasil pengamatan sifatnya partikular akan menemukan pengetahuan yang benar melalui tahap-tahap ilmiah dan karena itu pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati atau yang lebih tepatnya Bacon menegaskan pentingnya mengoperasikan dimensi eksperimental dan seturut itu pun adanya penjelasan-penjelasan rasionalistis dalam sains. Bacon pun sangat menekankan sifat fungsional dari ilmu pengetahuan untuk membantu kekuasaan manusia atas alam. Ilmu pengetahuan menjadi kekuatan bagi manusia untuk xii menguasai alam, melalui belajar dari alam itu sendiri. Manusia belajar dari alam tentang dua unsur yakni; unsur fisik (unsur-unsur alam yang dapat diamati secara langsung), dan unsur metafisik (hukum-hukum alam yang tidak dapat diamati secara langsung). Namun, manusia tidak dapat sampai pada tahap pencapaian ilmu pengetahuan yang sempurna dan memadai apabila masih terikat dengan idolaidola (berhala-berhala) yang secara langsung menghalangi pemahaman obyektif manusia terhadap alam atau tentang realitas kehidupan lain di luar dirinya. Ada empat idola yakni: Pertama, idola suku bangsa (Idols of the Tribe), yang merupakan kesimpulan yang ditarik tanpa data-data atau fakta yang memadai atau prasangka-prasangka kolektif yang dipercaya begitu saja tanpa pengamatan atau percobaan. Kedua, idola gua (Idols of the Cave/Den), adalah pengalaman pengalaman khas pribadi manusia yang subyektif membuat manusia seolah-olah terkurung dalam gua diri sendiri dan tidak dapat melihat keluar. Ketiga, idola pasar (Idols of the Market-place), adalah menerima pendapat dan anggapan publik begitu saja tanpa dipersoalkan atau diselidiki kebenarannya. Keempat, idola panggung (Idols of the Theatre), merupakan semua sistem filsafat tradisional yang pernah muncul seolah-olah suatu panggung sandiwara raksasa. Untuk mengatasi idola-idola tersebut, Bacon memperkenalkan suatu solusi yakni metode induksi. Selain itu, metode induksi Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan dari teori deduksi yang sebelumnya sering dipakai oleh Arisototelian. Sebenarnya Bacon tidak menuduh kaum Aristotelian maupun kaum Skolastik yang mengabaikan sama sekali mengabaikan metode induksi, tetapi kata yang lebih tepatnya Bacon ingin ”mengkritisi” hal yang berkenaan dengan suatu generalisasi dan penalaran kesimpulan yang bersifat terburu-buru. Bacon xiii memberikan kritikan kepada mereka, terutama tertuju pada kemantapan dalam menalar yang menjamin kesimpulan yang dihasilkan bersumber pada bentuk premis-premis yang benar. Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur ilmiah Aristoteles, di sisi lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Sebab, metode deduksi cara kerjanya hanya, di mana secara utuh hanya menekankan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan akal budi atau rasio manusia (menekankan unsur a priori). Adapun definisi dari metode induksi yang ia pahami bahwa metode induksi adalah menarik kesimpulan-kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. Atau dalam definisi lain dikatakan bahwa proses berpikir di mana orang berjalan dari yang kurang universal menuju yang lebih universal, atau secara lebih ketat lagi dari yang individual (partikular) menuju ke yang umum (universal). Lebih lanjut, berkaitan dengan metode induksi ada dua hal penting yang perlu dijabarkan dalam memperoleh suatu ilmu pengetahuan yang memadai yakni observasi (eksperimen) dan analisis. Untuk itu, metode induksi Bacon dimulai dengan bekerjanya pengindraan, yang menuntut kerjasama dengan pikiran, dan kegiatan pikiran perlu dikendalikan oleh observasi sehingga membawa manusia untuk melihat alam atau fakta-fakta alam secara obyektif, tidak hanya sampai pada data-data empiris, tetapi sampai pada “forma” yang melampaui data-data empiris. Ciri mendasar dari metode ini yakni menemukan prinsip-prinsip paling dasar dari ilmu pengetahuan, sehingga manusia dapat menginterpretasikan alam (interpretatio naturae). Kemudian, interpretasi alam itu menghantar manusia pada kekuasaan atas alam untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, dalam metode induksinya ada empat langkah penting yang perlu dilakukan yakni xiv identifikasi masalah, pengamatan dan pengumpulan data, merumuskan hipotesis dan tahap pengujian hipotesis. Berikut ini akan djelaskan beberapa tahap tersebut. Pertama, identifikasi masalah. Langkah atau tahap ini akan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini. Oleh karena itu, cukup dikatakan di sini bahwa pada tahap ini muncul sebuah situasi yang disebut sebagai “situasi masalah”. Intinya, ada berbagai macam gejala yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang ‘aneh’ atau ‘menarik’. Ada kejadian atau peristiwa tertentu yang belum bisa dijelaskan secara masuk akal. Peristiwa atau gejala ini tidak diketahui sebabnya. Singkatnya, tahap pertama adalah menetapkan dan merumuskan apa masalah yang ingin dipecahkan. Kedua, pengamatan dan pengumpulan data. Untuk menjawab dan menjelaskan masalah tersebut di atas, dilakukan pengamatan secara lebih seksama atas gejala-gejala yang menimbulkan masalah di atas. Berdasarkan pengamatan tersebut lalu dikumpulkan berbagai fakta dan data yang diduga dapat menjelaskan masalah tersebut. Fakta dan data tersebut lalu diklasifikasi, dikaji, dan dianalisis untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas yang dapat memberi penjelasan tentatif tentang sebab dari masalah di atas. Ketiga, merumuskan hipotesis. Atas dasar fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi, diajukan sebuah hipotesis yang berfungsi untuk menjelaskan sebab dari masalah tersebut di atas. Sebab tersebut hanya merupakan jawaban sementara berdasarkan fakta dan data yang telah ditemukan. Hipotesis ini didasarkan pada dugaan mengenai hubungan yang terjalin antara berbagai fenomena, antara berbagai fakta dan data, khususnya dengan gejala yang menjadi masalah tersebut di atas. xv Keempat, tahap pengujian hipotesis. Tahap ini bermaksud untuk menguji lebih lanjut kebenaran hipotesis tadi dengan melakukan penelitian dan percobaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi memang terbukti benar. Caranya adalah dengan membuat berbagai prediksi yang akan memperlihatkan adanya kaitan yang tak terbantahkan dan terbukti benar antara sebab yang diduga dalam hipotesis dan gejala yang menjadi masalah tersebut di atas. Prediksi tadi lalu diujicobakan. Kalau ternyata mendukung hipotesis, dalam pengertian prediksi tersebut terjadi, maka hipotesis tersebut diterima sebagai benar (yang pada gilirannya kalau terbukti terusmenerus akan diterima sebagai hukum ilmiah). Kalau tidak, maka hipotesis tersebut gugur dengan sendirinya. Jika ini yang terjadi, maka perlu diajukan lagi hipotesis baru, entah dengan terlebih dahulu mengumpulkan fakta dan data yang baru sama sekali, atau dengan mengumpulkan fakta dan data tambahan, atau dengan hanya mengandalkan fakta dan data yang ada tetapi ditafsirkan secara berbeda. Oleh karena itu, inti induksi dari gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apa pun juga. Ilmuwan harus mendekati alam atau objek penelitiannya dengan menggunakan mata yang lugu dan tidak dicemari oleh anggapan apa pun juga. Hal inilah yang sesuai pernyataan Bacon (sebagai kritik atas Aristoteles dan para pengikutnya), bahwa: “telah sampai pada kesimpulan sebelum ia sendiri melakukan percobaan. Ia tidak mengacu pada percobaan, sebagaimana yang seharusnya dilakukannya, melainkan telah menetapkan persoalan tersebut sesuai dengan kehendaknya, ia memaksakan pengalaman agar cocok dengan apa yang dipikirkannya”.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
Q Science > Q Science (General)
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Fil Lake Primus Sani
Date Deposited: 08 Sep 2022 07:23
Last Modified: 08 Sep 2022 07:23
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/8599

Actions (login required)

View Item View Item