ROGA, Bernadinus Meo (2022) Kekeliruan Mengenai Unitas dan Indissolubilitas Perkawinan Katolik Dalam Terang Kanon 1099 Kitab Hukum Kanonik 1983. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Text
ABSTRAK.pdf Download (594kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (512kB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Repository staff only Download (579kB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Repository staff only Download (576kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (530kB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (789kB) |
Abstract
Perkawinan merupakan suatu kata benda yang berarti pernikahan. Juga bisa berarti perihal yang berhubungan dengan hal kawin. Kata dasar “kawin” mengandung dua arti. Pertama, perjodohan laki-laki dengan perempuan menjadi suami-istri sah melalui nikah. Kedua, berarti beristri atau bersuami (nikah). Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral. Kesakralan itu berada dalam proses dan pemaknaan tentang arti perkawinan itu sendiri selama pasangan menjalaninya dalam kehidupan. Sepasang suami-istri dituntut untuk saling setia dan mengembangkan cinta yang mereka bina. Gereja merasa berhak untuk ikut campur dalam perkawinan. Sepasang mempelai akan melibatkan gereja di dalam proses perkawinan itu. Gereja merasa perlu turut campur dan mempunyai kewajiban untuk membantu kedua mempelai menjalani kehidupan bersama. Dengan demikian, perkawinan adalah persekutuan antara dua pribadi, dari dua jenis kelamin yang berbeda yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan dilangsungkan atas persetujuan keduanya. Ini menegaskan prinsip unitas perkawinan, prinsip dualitas seksual dan sexual complementary antara pria dan wanita. Melalui itu perkawinan adalah anugerah dari Allah yang harus lestari dan terarah pada prokreasi. Untuk itu, penulis surat Ibrani menggarisbawahi hal ini dengan mengingatkan kita supaya menghormatinya. Di sana ditegaskan, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan” (Ibr 13:4). Perkawinan bukanlah semata-mata suatu rencana dan kehendak manusia belaka, tanpa intervensi Allah. Akan tetapi, Allah sendirilah yang senantiasa menghendaki perkawinan itu. Allah memberikan laki-laki dan perempuan kepada satu sama lain (Bdk. Mat 19:6a). Laki-laki dan perempuan kemudian saling menerimakan sakramen perkawinan. Di sini imam memohon berkat atas pasangan itu dan terlebih bersaksi bahwa perkawinan tersebut sah dan layak. Perkawinan katolik ditandai dengan sifat hakiki yakni monogami (unitas) dan tak terceraikan (Indissolubilitas), yang dikukuhkan secara khusus dalam upacara sakramental. Hakikat perkawinan ini mengandung dua kebenaran ontologis (unitas dan indissolubilitas), dan manusia harus tunduk pada validitas perjanjiannya untuk menikah. Itulah mengapa, iman Kristen selalu berpegang teguh pada pewahyuan (Kej 2:18-24) bahwa perkawinan berasal dari Allah sendiri. Karena itu sejak awal, persatuan pria dan wanita mempunyai dua ciri pokok yakni monogami dan langgeng. Monogami berarti menikah dengan satu pasangan saja hingga maut yang memisahkan. Dalam perkawinan katolik dapat saja seseorang keliru tentang perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam bahwa perkawinan pada dasarnya memiliki sifat yang satu (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Kekeliruan ini berbicara mengenai kekeliruan hukum dimana terdapat pemahaman dan pengertian yang keliru mengenai sifat-sifat hakiki perkawinan. Namun yang terjadi terdapat kekeliruan dalam pemahaman mengenai sifat perkawinan yang terdiri dari kekeliruan biasa meliputi kehidupan yang tidak hanya berdasarkan apa yang dipikirkan melainkan juga apa yang ia lakukan dengan tindakan kehendak. Terkadang kita sering menghendaki sesuatu namun objek kehendak itu ada dalam akal budi yang serba terbatas dan cacat. kekeliruan dikatakan tidak menentukan kehendak jika penilaian dan pandangan yang keliru itu tetap berupa prinsip-prinsip yang berada pada taraf akal budi saja serta tidak masuk dalam taraf kehendak dan mempengaruhi hal-hal konkret. Jika seseorang menghendaki perkawinan dan ia memilki pemahaman yang benar mengenai perkawinan, maka ia menghendaki perkawinan bukan atas motivasinya melainkan karena kehendaknya yang memutuskan. Kekeliruan bisa mempengaruhi atau memotivasi kehendak namun tidak harus menentukan pilihan, sebab kekeliruan itu menyertai pengetahuan akan kebenaran. Karena itu yang menginvalidasi kesepakatan nikah bukanlah kekeliruan melainkan Tindakan kehendak yang melakukan eksklusi, yang membuat keputusan ialah kehendak. Seseorang menikah tidak hanya dengan pengetahuan, akal budi, atau motivasi melainkan dengan kehendak. Jika kekeliruan ini tidak menentukan kemauan awal dari pasangannya maka ia tidak membatalkan perkawinan, dan tidak meniadakan kesepakatan perkawinan. Kata Kunci: kekeliruan, Unitas, indissolubilitas, sakramental perkawinan, dan kehendak
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | kekeliruan, Unitas, indissolubilitas, sakramental perkawinan, dan kehendak |
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) H Social Sciences > HQ The family. Marriage. Woman |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | S.Fil Bernadinus Meo Roga |
Date Deposited: | 22 Sep 2022 00:55 |
Last Modified: | 22 Sep 2022 00:55 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/9230 |
Actions (login required)
View Item |