WANGGE, Adrianus Palentino (2022) Pendidikan Hati Menurut Paulo Freire Dan Relevansinya Dalam Pembinaan Calon Imam Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD) Di Indonesia. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Text
ABSTRAKSI.pdf Download (4MB) |
|
Text
BAB 1.pdf Download (519kB) |
|
Text
BAB 2.pdf Restricted to Repository staff only Download (557kB) | Request a copy |
|
Text
BAB 3.pdf Restricted to Repository staff only Download (507kB) | Request a copy |
|
Text
BAB 4.pdf Restricted to Repository staff only Download (585kB) | Request a copy |
|
Text
BAB 5.pdf Download (551kB) |
Abstract
Ibarat teori tabularasa (kertas kosong) Jhon Locke, sejak kelahirannya manusia diumpamakan kertas putih yang belum ditulisi. Pada masa itu ia belum mengenal dan memahami realitas. Namun sebagai mahluk berakal budi, manusia memiliki kepekaan terhadap realitas. Kepekaan ini nampak dalam sikap takjub, ingin tahu dan hasrat bertanya dan pertanyaan yang diajukan selalu bersifat ad infinitum (tak terhingga) demi merai kebenaran. Di sini pendidikan berperan penting dalam menjawabi ketidaktahuan manusia. Melalui pendidikan, manusia dibimbing serta dituntun untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab, menemukan kejelasan arah tentang ke mana tujuan (telosnya) kehidupan ini dan juga sekaligus memberikan wawasan bagaimana mengatur jalannya kehidupan ini. Tentang pendidikan, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia melalui aksi penyadaran kritis terhadap realitas. Metode penyadaran yang baik adalah dialog dan hadap masalah. Penting pendidikan bagi manusia kembali ditegaskan dalam dokumen gereja Katolik Gravissimum Educationis (1965) sebagai berikut: “Semua orang dari suku, kondisi, atau usia manapun, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan sebab pendidikan menumbuhkan secara laras-serasi bakat-bakat pembawaan fisik, moral, dan intelektual mereka”. Selaras dengan itu pendidikan juga dianggap penting bagi kaum berjubah (calon imam) sebagaimana yang ditegaskan dalam dokumen Konsili Vatikan II, Optatam Totius, Dekrit tentang Pembinaan Imam bahwa pentingnya pendidikan calon imam dalam pembentukan “Gembala jiwa-jiwa yang sejati” yakni gembala yang memiliki totalitas pelayanan, kritis terhadap realitas serta memiliki cinta yang besar terhadap Gereja. Sebab tanpa penddikan, tarekat atau ordo akan mengalami krisis dan kemunduran atau harus dibubarkan bila mulai kehilangan obor hidup, tidak relevan dalam menjawab jeritan zaman karena anggota-angotanya tidak berkualitas. Sehubungan dengan itu, Para karmelit Ordo Karmel Tak Berkasut melihat tantangan zaman sebagai hal urgen yang mesti diatasi karena kecenderungan personalisasi, monolog dan otoriter bisa saja terjadi dalam tubuh formasi. Apabila tidak cepat diatasi maka reduplah penghayatan terhadap konstitusi dan karisma karmel yakni doa, persaudaraan dan pelayanan. Para Karmelit menanggapi tantangan tersebut dengan memanfaatkan berbagai literatur. Di sini Pendidikan Hati karya Paulo Freire sebagai model pendidikan politik yang berpusat pada hati nurani dianggap relevan dan menjadi sumbangsi dalam proses pembinaan calon imam. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of Heart melihat betapa pentingnya peran hati nurani dalam mendidik serta menanamkan nilai-nilai kebajikan untuk anak didik. Metode yang digunakan dalam buku tersebut ialah metode dialog dan hadap masalah, dan sasaran utama pendidikannya ialah pembebasan kaum tertindas melalui konsientisasi atau penyadaran. Di sini manusia disadarkan dari kesadaran magis, kesadaran naif, menuju kesadaran kritis. Singkatnya pendidikan Paulo Freire berpijak pada realitas dan berpihak pada manusia. Bagi Paulo Freire, cara untuk membina hati nurani ialah berpijak pada realitas, merefleksikan realitas dan mengamalkannya dalam nilai-nilai kebajikan seperti cinta kasih, rendah hati, harapan, dan keyakinan. Nilai-nilai kebajikan itulah yang menjadi ukuran mendidik. Berikut penjelasan singkat mengenai nilai-nilai kebajikan yang ditawarkan Paulo Freire dalam bukunya “Pedagogy of heart” sebagai dasar mendidik melalui metode dialog: Pertama, Cinta kasih, Di sini Paulo Freire melihat penindasan sebagai akibat rendahnya penghayatan manusia terhadap cinta kasih. Hal ini disebabkan praktek cinta kasih digunakan sebagai alat atau cara untuk memeras orang lain. Pada masa Paulo Freire, praktek ini nampak dalam pengembangan mitos-mitos oleh para penguasa untuk berkuasa dan Paulo Freire menentang praktek tersebut. Baginya mitos-mitos itu tampak meyakinkan tapi palsu. Ia menganjurkan agar cinta kasih itu mesti bermodelkan pada ajaran Yesus yakni kasih untuk kehidupan bersama umat manusia. Paulo Freire sendiri mengatakan bahwa jika saya tidak mencintai dunia, jika saya tidak mencintai kehidupan, jika saya tidak mencintai sesama manusia maka saya tidak akan hidup berdampingan dengan orang lain. Baginya cinta terjadi dalam dialog dan dialog ada karena ada cinta. Karena itu dalam dunia pendidikan, antara pendidik dan anak didik mestinya memiliki dialog yang berlandaskan cinta. Kedua, Kerendahan hati, Bagi Paulo Freire, cinta mestinya diwujud nyatakan lewat pemberian diri sebagai kenyataan manusiawi sekaligus sakral. Sebab kerendahan hati ada mengandaikan punya cinta kasih. Dan hanya melalui sikap rendah hati, seorang bersedia dan mampu menghargai, menghormati orang lain, berani untuk membuka diri serta mengakui kelemahannya masing-masing. Tanpa sikap rendah hati dialog kasih tidak akan terjadi dan monolog menjadi identik. Sikap rendah hati inilah mestinya diperaktekan oleh pendidik dan anak didik dalam dialog. .Ketiga, Keyakinan, Bagi Paulo Freire, Keyakinan adalah solusi mengatasi perkara hidup. Praktek ini telah dilakoni oleh Paulo Freire dalam upaya menyadari kaum tertindas bahwa mereka sedang ditindas. Upaya menyadaran ini adalah akibat dari keyakinan. Melalui keyakinan, seorang dapat bersikap teguh dalam situasi sulit dan sadar akan kemampuan yang dimiliki untuk membuat dan membuat kembali, serta untuk mencipta dan mencipta kembali tatanan hidup. Dan melalui keyakinan pula dialog dapat terjadi tanpa kebohongan. Keempat, Harapan yakni Sikap yang mengindikasikan diri sebagai mahluk serba terbatas yang dalam kesusahannya selalu ada gerak usaha mencari sesuatu yang jauh didepan atau harus ada perjuangan. Harapan bukanlah berpangku tangan lalu menunggu, melainkan berjuang sambil berharap. Harapan menjadi penting dalam dialog sebab dialog tanpa harapan hanya menciptakan kebisuan, penolakann dan pelarian diri. Kelima, Kritis dan tanggung jawab merupakan hal terpenting dalam mendidik anak. Sikap komitmen dan tanggung jawab menjadi dasar keberhasilan suatu pekerjaan sebab melalui sikap ini orang berani bergumul dengan masalah, mulai membuka dialog dengan sesama, bersikap kritis menanggapi perkembangan zaman serta mampu mengaktualisasikan konsep dalam dunia riil sebagai solusi. Dengan demikian Pendidikan hati yang disuguhkan Paulo Freire tidak hanya dimengerti sebagai upaya mentransfer ilmu layaknya “System Bank” tetapi lebih pada penanaman nilai-nilai kehidupan ke dalam diri anak didik. Hal ini tentu sungguh relevan dalam pembinaan calon imam Ordo Karmel Tak Berkasut di Indonesia, seperti yang tertulis dalam buku pedoman formasi Ordo (Ratio Institutionis) bahwa pembinaan sebagai proses berkelanjutan yang berpusat pada pribadi peserta didik sendiri dalam situasi aktualnya mesti terarah pada perkembangan rasa tanggung jawab untuk mengembangkan dan mempertahankan pembinaan dalam dan untuk kebebasan, mengikuti jejak Kristus dalam segala situasi dan kondisi, serta membantu setiap peserta didik untuk memiliki pribadi yang matang sebagai religius karmelit, seperti halnya yang dikatakan oleh St. Theresia dari kanak-kanak Yesus “Kontemplasi dalam dirinya sendiri adalah aksi”. Kemudian adigium karmel dikenal sebagai “berpadang gurun sambil bermisi dan bermisi sambil berpadang gurun”, ini artinya iman butuh tindakan dan kontemplasi butuh aksi. Aksi terungkap dalam kebajikan hidup seperti yang digagas oleh Paulo Freire. Karena itu, Pendidikan Hati menurut Paulo Freire boleh menjadi sumbangan dalam pembinaan calon imam Ordo Karmel Tak Berkasut di Indonesia khususnya dalam mengembankan nilai-nilai kebajikan seperti sikap cinta kasih, kerendahan hati, percaya, berpengharapan, kritis serta tanggung jawab dalam hidup dan panggilannya. Sehinga para calon imam menjadi dewasa dalam berpikir, dewasa dalam iman, dewasa dalam perbuatan serta hidup sesuai dengan konstitusi, karisma dan semangat Ordo.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Education, Dialogue, Consciousness, Virtue Values, Priest Candidates, Paulo Freire |
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General) B Philosophy. Psychology. Religion > BD Speculative Philosophy B Philosophy. Psychology. Religion > BF Psychology |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | S.Fil Adrianus Palentino Wangge |
Date Deposited: | 22 Jul 2022 01:44 |
Last Modified: | 22 Jul 2022 01:44 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/7374 |
Actions (login required)
View Item |