Penyelesaian Damai Sengketa Gereja Menurut Kanon 1446 § 1 Kitab Hukum Kanonik 1983

URBAT, Patris (2019) Penyelesaian Damai Sengketa Gereja Menurut Kanon 1446 § 1 Kitab Hukum Kanonik 1983. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (492kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (239kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (384kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (443kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (466kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (406kB)

Abstract

Allah sejak semula menciptakan segala sesuatu demi keteraturan. Ia mengatur dan menata ciptaan-ciptaan-Nya dengan baik. Penciptaan Allah atas segala sesuatu itu merupakan baik adanya. Ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya baik. Manusia juga Ia ciptakan baik.1 Allah menciptakan manusia untuk menyelamatkan manusia. Keselamatan Allah itu ditawarkan-Nya dengan menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Dia (Kej 1:27). Manusia diciptakan menurut gambar Allah berarti ia diciptakan Allah begitu rupa, sehingga manusia sedikit banyak menyerupai Allah.2 Allah menciptakan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya di atas muka bumi ini. Ia berbeda dari binatang-binatang lain yang tidak memiliki akal budi. Sebagai citra Allah, manusia memiliki keistimewaan yaitu memiliki akal budi.3 Akal budilah yang memampukan manusia untuk bertindak serupa dengan tindakan Allah yang menciptakan-Nya. Allah menciptakan manusia pertama dan menempatkan manusia itu pada penyertaan dan lindungan-Nya. Dia melengkapi di sekelilingnya juga kelimpahan rahmat, sehingga manusia itu merasakan kelimpahan kebaikan Allah. Allah menciptakan manusia secara istimewa sebab ia memiliki akal budi. Namun seringkali manusia terperosok pada lingkaran pola pikir yang terbatas. Oleh karena kemampuan 1 Dr. Nico Syukur Dister, OFM, PengantarTeologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 42. 2Ibid., hlm. 44. 3 Dr. A. A. Sitompul, Manusia Dan Budaya Teologi Antropologi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm. 374. xv manusia yang terbatas itu, maka munculah berbagai hal yang tidak sejalan lagi dengan cita-cita Allah atas diri manusia. Meskipun teman sekerja Allah, manusia tetaplah ciptaan. Ia bukanlah Pencipta. Antara Pencipta dan yang diciptakan terdapat perbedaan yang hakiki yang tak dapat disamakan. Perbedaan itu harus dihormati dan tak akan terhapuskan. Jangan pula bertindak seolah-olah karena tindakan itu akan mengakibatkan kehilangan batas yang telah ditetapkan. Apalagi tindakan semena-mena yang dengan tahu dan mau menginginkan dan menghendaki agar batas-batas itu dihapuskan. sebab jikalau demikian yang terjadi, maka yang mengikuti itu adalah kebinasaan.4 Demi menyelamatkan manusia, Allah memilih satu bangsa yakni Israel untuk dijadikan “kebun percobaan”, agar melalui Israel semua terselamatkan. Jikalau Israel berbalik kepada Allah berarti segala bangsa juga dapat kembali kepada Allah. Karya penyelamatan Allah atas manusia sebenarnya sudah berlangsung dalam Perjanjian Lama, tetapi mengalami kepenuhannya dalam Perjanjian Baru melalui Penjelmaan Sabda Allah yang membalikkan sejarah kemalangan menjadi sejarah keselamatan.5 Sabda itu adalah Yesus Kristus. Ia adalah Adam baru. Kesatuan sejarah berasal dari rencana keselamatan Allah untuk mempersatukan segala sesuatu dalam diri Kristus sebagai kepala (Ef 1:10). Rencana ini mulai dilaksanakan oleh Tuhan dengan memilih Israel sebagai umat yang dipersiapkan untuk melahirkan Mesias. Dalam diri Allah yang berinkarnasi itu, tercapailah keselamatan dalam arti persatuan penuh antara Allah dengan manusia. Melalui itu 4Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Op. Cit., hlm. 45. 5Ibid., hlm. 47. xvi juga terpecahlah lingkaran setan dosa dan maut dan terbuka pulalah kemungkinan bagi seluruh umat dalam iman akan Yesus Kristus.6 Gereja yang merupakan wajah Allah yang berbelaskasih, sudah menjalankan kiprahnya sejak awal keberadaannya. “Roh Kudus yang sejak semula bersama Bapa dan Putra merupakan motor penggerak yang tak tergantikan.Roh Kudus menggerakan Gereja untuk peduli terhadap situasi zaman. Ironis memang, setelah sekian lama Gereja yang berbelakasih itu berkiprah, ternyata masih banyak dari antara anggota Gereja itu yang masih tergolong sebagai orang miskin horizon. Masih begitu banyak orang buta, begitu banyak orang yang tidak tahu menahu tentang jalan keluar yang baik untuk membebaskan diri dari belenggu persoalan hidup.7 Untuk persoalan-persoalan seperti itu Gereja hadir sebenarnya, menjadi instrumen pastoral membebaskan: melaksanakan tugas peradilan yang diwariskan Kristus, membela dan melindungi hak dan kewajiban kaum beriman, memberi jawaban kepada tuntutan dari hakikat dan misi Gereja.8Gereja pada dasarnya peduli seperti Yesus yang selalu peduli pada setiap orang yang membutuhkan pertolongan-Nya. Guna meneruskan karya keselamatan Allah yang diwartakan Yesus di dunia ini, Gereja pertama-tama memajukan perdamaian dengan membantu bangsa-bangsa membuat pilihan sadar dan membantu mengembangkan kebijakan yang diambil secara sengaja. Memang Gereja masa lalu membenarkan perang, tetapi juga ia memiliki tradisi yang kuat yang menyerukan 6Ibid. 7Ibid. 8Ibid. xvii perdamaian. Perdamaian, syalom adalah impian Alkitab (Yes 2:2-5; 9:5-6; 48:18).9 Yesus sendiri adalah pencinta damai (Mat 5: 21-26). Jika dilihat sepintas, memang kata damai adalah suatu kata yang sudah lumrah dan bahkan hampir mubazir maknanya. Mubazirnya makna kata damai ternyata karena banyak dari kita yang menyandingkannya dengan kata pengampunan yang mengacu pada suatu tindakan khusus memberi ampun. Seseorang menyesal dan yang lain memaafkan. Kelihatan memang sangat enteng karena tinggal meminta maaf dan lalu pasti diimaafkan. Jikalau demikianlah halnya maka pengampunan menjadi gagasan yang demikian murahan, menjadi basi dan tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.10 Rekonsiliasi, Damai selalu berada dalam proses tidak pernah sekali jadi. Rekonsiliasi tidak pernah menghilangkan keadilan. Rekonsiliasi tanpa keadilan adalah suatu yang mustahil dan tak akan pernah terjadi. Bilamana hal itu terjadi maka rekonsiliasi mutlak lenyap. Berhadapan dengan kenyataan Gereja saat ini yang syarat akan sengketa, Gereja memiliki caranya sendiri walau memang tertati-tati untuk menjawabi persoalan-persoalan itu. Penyelasaian damai sengketa gereja berkisar antara proses perdamaian secara dialogis sampai pada penyelesaian akhir yaitu secara yuridis kanonis. Penyelesaian awal terhadap sengketa meliputi konsiliasi,mediasi,danarbitrasi. Jikalau setelah melalui jalan personal dialogis dan tidak menemukan titik cerah, maka jalan selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengarahkan kepada mereka jalan terakhir yang harus ditempuh sebagai jalan damai terakhir 9Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia, (Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2006), hlm. 639. 10Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam Masyarakat, (Maumere: Ledalero, 2005), hlm.6. xviii yaitu jalan yuridis penyelesaian sengketa. Perlu dipahami bahwa penyelasaian yuridis terhadap sengketa tidak berada di luar jalur damai. Justru penyelesaian terakhir ini dilakukan agar pihak yang bersengketa menemukan kembali kedamaian hidup mereka dengan berani membuka lamberan hidup yang baru

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
B Philosophy. Psychology. Religion > BT Doctrinal Theology
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: andre berek
Date Deposited: 23 Jan 2020 05:35
Last Modified: 23 Jan 2020 05:35
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/1386

Actions (login required)

View Item View Item