Dialektika Kehendak Menurut Arthur Schoupenhauer dan Implikasinya terhadap Kebebasan Manusia di Era Digital

LETO, Anggelinus Rigan Laku (2025) Dialektika Kehendak Menurut Arthur Schoupenhauer dan Implikasinya terhadap Kebebasan Manusia di Era Digital. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (812kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (232kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (179kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (204kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (306kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (217kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (394kB)

Abstract

Di tengah pusaran informasi dan konektivitas yang tak terbatas, manusia di era digital kini menghadapi redefinisi mendalam tentang apa artinya menjadi bebas. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, mulai dari algoritma personalisasi hingga tekanan tak kasat mata dari media daring, telah mengaburkan batas antara kehendak individu dan pengaruh eksternal. Jika di masa lalu kebebasan seringkali diperdebatkan dalam ranah politik atau ekonomi, kini ia merambah ke dimensi psikologis dan eksistensial yang terhubung langsung dengan cara kita berinteraksi dengan dunia maya. Pertanyaan-pertanyaan fundamental muncul: sejauh mana pilihan kita benar-benar otonom? Apakah dorongan untuk terus-menerus terhubung dan divalidasi adalah cerminan kehendak kita sendiri, ataukah itu manifestasi dari kekuatan yang lebih dalam dan tak kita sadari? Dalam konteks inilah, pemikiran radikal Arthur Schopenhauer tentang dialektika kehendak menawarkan kerangka filosofis yang krusial untuk menganalisis dan memahami kompleksitas kebebasan manusia di tengah lanskap digital yang terus berubah. Latar belakang pemikiran Schopenhauer berakar kuat pada tradisi idealisme Jerman, khususnya Immanuel Kant, namun ia mengambil jalan yang sangat berbeda. Berbeda dengan Kant yang menempatkan akal budi sebagai pusat otonomi moral, Schopenhauer justru menggeser fokus ke entitas metafisik yang ia sebut Kehendak (Wille). Kehendak ini, bagi Schopenhauer, bukanlah kehendak sadar atau rasional individual, melainkan esensi noumenal yang buta, irasional, tanpa tujuan, dan tak terbatas, yang menjadi penggerak fundamental dari seluruh alam semesta. Segala sesuatu yang kita amati di dunia fenomena, termasuk tubuh dan tindakan kita sendiri, hanyalah objektivasi atau manifestasi dari Kehendak universal ini. Pemahaman revolusioner ini secara inheren x menantang gagasan tradisional tentang kebebasan: jika kita hanyalah representasi dari kekuatan irasional yang mendasarinya, di mana letak ruang bagi kehendak bebas dan otonomi personal kita? Apakah kebebasan hanya ilusi yang menipu, ataukah ada jalan untuk mencapainya dalam keterikatan pada Kehendak ini? Penelitian ini bertujuan untuk menggali secara mendalam bagaimana konsep dialektika kehendak Schopenhauer dapat memberikan pemahaman kritis terhadap fenomena-fenomena digital dan implikasinya terhadap praktik kebebasan manusia di abad ke-21. Metode yang digunakan adalah sistematis refleksif, sebuah pendekatan yang mengkaji dan merekonstruksi teks filosofis secara kritis, kemudian merefleksikannya pada konteks kontemporer. Ini melibatkan studi pustaka primer dan sekunder untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara sistematis konsep dialektika kehendak menurut Arthur Schopenhauer. Peneliti akan menguraikan secara rinci konsep Wille sebagai inti metafisika Schopenhauer, membedakannya dari kehendak sadar, dan menjelaskan bagaimana ia bermanifestasi dalam hirarki alam semesta, termasuk dalam diri manusia. Akan ditunjukkan bagaimana penderitaan manusia adalah konsekuensi inheren dari sifat Kehendak yang tak pernah terpuaskan, yang mendorong hasrat dan keinginan tanpa henti. Diskusi tentang peran Ide-ide Platonis sebagai objektivasi langsung Kehendak akan menjadi bagian krusial dalam memahami struktur realitas Schopenhauerian. Selanjutnya, penelitian ini akan menganalisis secara mendalam definisi kehendak dan kebebasan dalam kerangka filosofis Schopenhauer. Akan dijelaskan mengapa Schopenhauer menolak konsep liberum arbitrium indifferentiae, yaitu kehendak bebas dalam pengertian kemampuan untuk memilih secara acak. Sebaliknya, Schopenhauer berargumen bahwa tindakan individu sepenuhnya ditentukan oleh karakter inteligibel xi (esensi bawaan yang tidak berubah) dan motif-motif yang muncul dari karakter empiris dan lingkungan. Kebebasan, dalam pandangan Schopenhauer, tidak terletak pada kemampuan untuk memilih di antara alternatif yang berbeda, melainkan pada pengenalan akan keniscayaan tindakan kita yang berasal dari esensi diri kita. Namun, bentuk kebebasan tertinggi adalah kebebasan metafisik, yang dapat dicapai melalui negasi Kehendak untuk hidup. Ini dapat terwujud melalui pengalaman estetika, di mana individu melampaui kepentingan diri dan hasrat, serta melalui asketisme, yang merupakan penolakan total terhadap hasrat dan keinginan yang didorong oleh Kehendak. Bagian terpenting dari penelitian ini adalah eksplorasi implikasi konseptual kehendak Schopenhauer terhadap praktik kebebasan manusia di era digital. Era digital memperparah tantangan ini dengan cara yang tak terduga. Algoritma yang mempelajari preferensi kita, jejaring sosial yang membentuk "gelembung filter" dan "ruang gema", serta dorongan untuk konsumsi konten dan validasi diri yang tiada henti, semuanya dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi baru dari Kehendak Schopenhauerian yang mencari pemuasan tanpa akhir. Seolah-olah Kehendak kini menemukan medium baru yang tak terbatas untuk bermanifestasi dan memanipulasi hasrat manusia. Kita mungkin merasa memiliki banyak pilihan di ujung jari kita, namun apakah pilihan-pilihan itu sungguhsungguh bebas, ataukah hanya arahan dari "Kehendak digital" yang tak terlihat? Akan dibahas bagaimana "ilusi pilihan" yang ditawarkan oleh dunia digital seringkali hanya mengikat individu lebih dalam pada dorongan Kehendak, yang menyebabkan ketergantungan dan potensi hilangnya kebebasan yang sesungguhnya. Namun, pemikiran Schopenhauer juga menawarkan jalan keluar. Kesadaran akan sifat kompulsif dari Kehendak digital, sebagaimana disingkap oleh Schopenhauer, dapat xii menjadi langkah pertama menuju pembebasan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip "penolakan Kehendak" melalui "asketisme digital" atau "detoks digital", serta mencari pengalaman estetika yang melampaui konsumsi digital semata, manusia di era digital berpotensi untuk menegaskan kembali kebebasan mereka dan mencapai bentuk otonomi yang lebih substantif di tengah gelombang teknologi yang tak henti. Penelitian ini menyimpulkan bahwa filsafat Schopenhauer tidak hanya relevan untuk memahami kondisi penderitaan manusia, tetapi juga memberikan lensa kritis untuk menganalisis tantangan kebebasan di era digital, sekaligus menawarkan arah bagi upaya-upaya untuk mencapai kebebasan yang lebih bermakna di tengah dominasi teknologi.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Uncontrolled Keywords: Dialektika Kehendak, Kebebasan Manusia dan Era Digital
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BD Speculative Philosophy
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: Angelinus Rigan Laku Leto
Date Deposited: 18 Sep 2025 01:18
Last Modified: 18 Sep 2025 01:18
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/21180

Actions (login required)

View Item View Item