Konsep Etika Hukum Perspektif Franz Magnis-Suseno Sebagai Kritik Atas Praktek Hukum Di Indonesia

REBON, Dionisius Lagaama (2018) Konsep Etika Hukum Perspektif Franz Magnis-Suseno Sebagai Kritik Atas Praktek Hukum Di Indonesia. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (462kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (369kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (406kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (450kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (516kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (139kB)

Abstract

Di era ini muncul berbagai macam persoalan yang melanda kehidupan umat manusia. Salah satu persoalan yang sangat meresahkan manusia dalam tatanan kehidupan masyarakat adalah persoalan hukum. Ada dua fakta persoalan yang merongrong kehidupan masyarakat kontemporer. Pertama, fakta munculnya berbagai fenomena pelanggaran hukum di setiap aspek kehidupan manusia. Persoalan ini bukan karena disebabkan oleh ketaksengajaan para pelanggar hukum atau kurangnya pengetahuan mengenai ketetapan hukum yang berlaku, tetapi semata-mata kesengajaan stuktural yang dirancang demi suatu kepentingan indvidual. Besarnya dorongan kepentingan individual menjadi biang persoalan pelanggaran tersebut. Kedua, kenyataan bahwa di era ini, merupakan hal biasa jika banyak sekali hukum yang tidak etis. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakmemadaian pengetahuan para perancang hukum, tetapi sekali lagi karena disebabkan oleh kepentingan itu sendiri. Kekuasaan menjadi tempat di mana para birokrat menunjukan insting purba melalui ketetapan-ketetapan hukum yang tidak adil. Hukum itu berwajah diskriminatif, intimidatif dan represif. Lantas apa yang dapat kita perbuat, di tengah pusaran arus persoalan tersebut? Kita dituntut untuk menggaungkan kembali prinsip-prinsip etis yang mendasari hukum sebagai bagian dari usaha untuk menyadarkan para perancang hukum, pemangku hukum dan masyarakat. Salah satu tokoh yang pernah menyerukan prinsip-prinsip etis hukum adalah Frans Magnis-Suseno. Seorang filsuf yang peka dan peduli terhadap berbagai persoalan hukum yang mendera bangsa indonesia beserta para penegak hukum. Menurut Magnis-Suseno, hukum itu suatu sistem norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat.1 Hal ini dimaksud bahwa norma-norma itu secara khusus mengatur segala kelakuan manusia dalam masyarakat. Untuk memahami lebih jauh tentang keberadaan hukum, Magnis-Suseno mendasarkan pandangannya pada pembatasan kebebasan manusia. Ada tiga cara untuk membatasi kebebasan manusia: (1) melalui paksaan atau pemerkosaan fisik, (2) melalui tekanan atau manipulasi psikis; (3) melalui pewajiban dan larangan. Pembatasan kebebasan sosial, secara normatif (pewajiban dan larangan), dilihat sebagai cara efektif bagi makhluk berakal budi karena menuntut pengertian dan tanggung jawab serta sikap bebas. Dan oleh karena itu masyarakat juga berhak untuk seperlunya mengambil tindakan untuk menjamin bahwa aturan-aturan itu tetap dihormati.2 Norma-norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, jadi demi kesadaran moral, kita harus melanggar hukum. Kalaupun kita kemudian dikenai hukum, hal itu tidak berarti bahwa kita ini orang buruk.3 Magnis-Suseno, lebih lanjut mengatakan bahwa, hukum merupakan sebuah norma, yang menjamin segala nilai dasar yang melekat pada diri manusia. Hukum bukan hanya menjadi norma yang menjamin kebebasan setiap orang untuk mengekspresikan diri d Frans Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern., (Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama,1987), hal. 83 (dalam tulisan selanjutnya, penulis akan menggunakan singkatan Etika Politik untuk merujuk pada judul buku tulisan Frans Magnis-Suseno ini) 2 Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,1989), hal. 37-39 (dalam tulisan selanjutnya penulis akan menggunakan singkatan Etika Dasar untuk merujuk pada judul buku tulisan Frans Magnis-Suseno ini) 3 Ibid., ha koridor moral, tetapi juga menjamin kesetaraan hak setiap individu di hadapan hukum. Setiap individu diproses sesuai aturan yang berlaku tanpa memandang bulu. Perlu diketahui bahwa, setiap orang memiliki hak yang sama ketika berhadapan dengan hukum. Berdasarkan pada konsep ini maka, segala macam identitas aksidental yang melekat pada diri manusia seketika hilang ketika diproses secara hukum. Konflik kepentingan yang kerap kali melanda kehidupan bermasyarakat secara fundamental menuntut suatu norma yang dapat mengatasi segala problematika tersebut. Hukum menyuguhkan suatu model pemecahan konflik dengan bertolak dari unsur kebijaksanaan atau norma rasional dan prinsip-prinsip dasar moral yang ketat. Seseorang tidak lagi bertindak di luar batas-batas kemanusiaan karena terikat oleh norma tersebut. Berakar pada asumsi tersebut, Magnis-Suseno sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, hukum berfungsi; memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Yang dimaksudkan beliau adalah bahwa, model pemecahan konflik harus rasional dan etis yang mana berkaitan langsung dengan dimensi substansial hakikat diri manusia. Bukan hanya norma yang diperundangkan itu harus rasional dan etis tetapi juga dalam proses pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian. Adanya tatanan hukum menjamin bahwa orang atau golongan yang berkuasa tidak dapat bertindak sewenang- wenang.4 Pasca berdiri sebagai sebuah negara merdeka the founding fathers (bapak pendiri), melalui sebuah konvensi menetapkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang ditegaskan dalam rumusan UUD 1945 dengan menjadikan pancasila sebagai sumber yang menjiwai kaidah-kaidah hukum. Dalam kedudukannya seperti ini, pancasila merupakan pangkal tolak derivasi atau sumber penjabaran dalam proses penyusunan peraturan hukum Indonesia. Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, 4 Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, Op. Cit., hal. 96 nilai hukum kodrat, dan nilai religius, merupakan sumber hukum material bagi hukum positif Indonesia. Hal ini bertolak belakang dengan praktek yang terjadi di lapangan. Fakta bahwa praktek hukum Indonesia lebih dominan merujuk pada praktek hukum positif. Penekanan pada prosedur hukum membawa dampak yang sangat buruk. Hukum yang diperundangkan dan penegakan hukum Indonesia telah banyak dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu. Faktor penyebab ketimpangan ini, di satu sisi, bukan hanya karena praktek hukum Indonesia lebih dominan menekankan prosedur, tetapi di sisi lain karena faktor kecenderungan subjektif para legislator sebagai perancang hukum dan para pemangku hukum sebagai penegak hukum. Hukum tidak lagi berperan sebagai “jenderal” keadilan dalam masyarakat tetapi menjadi sarang bagi aktualisasi berbagai kecenderungan subjektif. Hukum di Indonesia cenderung melahirkan keputusan-keputusan parsial yang berpihak pada penguasa dan terus menjejalkan orang-orang kecil ke dasar penderitaan tanpa nurani. Frans Magnis-Suseno dalam bukunya etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Kenegaraan Modern, berpendapat bahwa hukum merupakan sebuah norma, yang menjamin segala nilai dasar yang melekat pada diri manusia. Hukum bukan hanya menjadi norma yang menjamin kebebasan setiap orang untuk mengekspresikan diri dalam koridor moral, tetapi juga menjamin kesetaraan hak setiap individu di hadapan hukum. Tidak hanya itu Magnis-Suseno juga berpendapat bahwa, hukum juga berfungsi memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum bukan digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan tendensi subjektif masyarakat, para pemangku hukum dan perancang hukum tetapi lebih pada norma yang dapat mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam karyanya “etika politik prinsi-prinsip moral kenegaraan modern” Franz Magnis-suseno seorang filsuf Indonesia asal Jerman mengatakan bahwa hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencegah dan memecahkan konflik kepentingan dalam masyarakat. Dengan hukum pemecahan konflik kepentingan dalam masyarakat tidak dipandang berdasarkan kuat dan lemahnya. Sebagai norma yang rasional dan etis, hukum lebih mengarah kepada penyelesaian konflik yang objektif dan bijak. Dikatakan rasional dan etis karena pemecahan konflik melalui jalur hukum mendegradasi segala bentuk otoritas dan kekuasaan dengan bertolak pada kriteria objektif manusia dan manusia. Adil yang dimaksudkan adalah bahwa penyelesaian konflik secara implisit lebih merujuk pada nilai kesetaraan. Segala bentuk identitas individu tidak menjadi tolok ukur pemecahan konflik. Dengan adanya hukum, kelemahan seseorang secara tidak langsung diangkat setara dengan kekuatan seseorang. Karena kelemahannya tidak memberikan jaminan mutlak bahwa ia akan kalah di hadapan hukum. Sebaliknya juga bahwa kekuatan seseorang tidak memastikan bahwa segala keputusan akan selalu berpihak kepadanya. Berpedoman pada penjelasan di atas, Magnis-Suseno menyimpulkan bahwa; hukum berfungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Adanya tatanan hukum menjamin bahwa orang atau golongan yang berkuasa tidak dapat bertindak sewenang- wenang. Di luar batas-batas hukum penggunaan kekuasaan tidak sah dan di lain pihak hukum merupakan satu-satunya saluran penggunaan kekuasaan yang sah. Sejak pertama kali ditetapkan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal (1) ayat (3), bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan menjadikan pancasila sebagai sumber yang menjiwai kaidah-kaidah hukum, Indonesia memasuki babak baru dalam perjalanan sejarah sebagai sebuah negara yang berdasarkan atas tertib hukum. Dengan demikian hukum Indonesia secara inheren dijiwai oleh moralitas dan keadilan selaras dengan apa yang tersirat dalam nilai-nilai Pancasila. Hal ini mensyaratkan bahwa kita mengunggulkan hati nurani daripada oleh otak atau lebih memuji komitmen moral daripada perundang-undangan. 12 Ideologi tersebut berseberangan dengan apa yang terjadi di lapangan. Fakta bahwa praktek hukum Indonesia lebih dominan merujuk pada praktek hukum positif. Penekanan pada prosedur hukum membawa dampak yang sangat buruk. Hukum yang diperundangkan dan penegakan hukum Indonesia telah banyak dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu. Faktor penyebab ketimpangan ini, di satu sisi, bukan hanya karena sering muncul pengidentifikasian antara hukum dan undang-undang dan praktek hukum Indonesia yang lebih dominan menekankan prosedur, tetapi di sisi lain karena faktor kecenderungan subjektif para legislator sebagai perancang hukum dan para pemangku hukum sebagai penegak hukum. Hukum tidak lagi berperan sebagai “jenderal” keadilan dalam masyarakat tetapi menjadi sarang bagi aktualisasi berbagai kecenderungan subjektif. Hukum di Indonesia cenderung melahirkan keputusan-keputusan parsial yang berpihak pada penguasa dan terus menjejalkan orang-orang kecil ke dasar penderitaan tanpa nurani. Persoalan-persoalan mutakhir yang muncul dalam bingkai praktek hukum Indonesia semakin menunjukkan ketidakberesan yang sulit untuk dibiarkan. Gejolak persoalan ini semakin mengancam berbagai macam pihak, mulai dari orang-perseorangan, kelompok maupun institusi-institusi tertentu, khususnya rakyat kecil yang berhadapan dengan hukum. Bertolak pada konsep etika hukum yang digagaskan oleh Magnis-Suseno penulis melihat bahwa wajah hukum Indonesia tidak lagi menunjukkan diri sebagai sesuatu yang mulia yakni bertujuan untuk mencegah dan memecahkan konflik kepentingan dalam masyarakat dan berfungsi memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, tetapi telah berubah wajah menjadi penindas, sarana untuk melegitimasi kejahatan, sebagai permainan dan bisnis serta menjadi tameng pembenaran diri oleh para legislator dan pemangku hukum. Arti hukum yang semulanya suci, kini menunjukkan wajah yang kian seram menakutkan dan penuh dengan lumpur dosa. Ketimpangan ini menjadi tugas berat yang patut dibaharui oleh berbagai pihak di masa yang akan datang. Bertolak pada kenyataan di atas, penulis berpendapat bahwa konsep etika hukum Magnis- Suseno adalah dobrakan besar terhadap fakta ketidakberesan dalam praktek hukum di Indonesia. Oleh karena itu dengan melihat dengan melihat situasi riil yang terjadi, penulis berpendapat bahwa konsep etika hukum Frans Magnis-Suseno bukan saja dipelajari tetapi patut direvitalisasi agar dapat menjamin cita-cita keadilan dan memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics
B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: Osa Yumida
Date Deposited: 13 Mar 2020 03:08
Last Modified: 13 Mar 2020 03:08
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2154

Actions (login required)

View Item View Item