SUNI, Gaspar (2018) Konsep Perdamaian Perspektif Eric Weil. Diploma thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.
Text
ABSTRAK.pdf Download (573kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (343kB) |
|
Text
BAB II.pdf Download (494kB) |
|
Text
BAB III.pdf Download (307kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Download (515kB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (282kB) |
Abstract
Dunia terus bergerak, berubah dan berkembang secara pesat. Dalam perkembangannya manusia merindukan satu kehidupan di mana ia bisa hidup dengan damai. Perdamaian memang kata yang gampang diucapkan namun sulit untuk mewujudkannya. Bahkan sampai di era ini, dengan berkembangnya teknologi di segala bidang, namun perdamaian itu masih terasa dangkal. Berbagai bentuk konflik, kekerasan dan peperangan terus berlangsung dengan menggunakan cara-cara yang canggih. Perkembangan teknologi dan tingkat pendidikan manusia ternyata tidak berjalan seimbang dengan menurunnya kuantitas kekerasan, kejahatan dan perang. Para pelaku kejahatan tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam yang penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar, ketika ia tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, dan tidak berpikir kritis di dalam melihat keadaan secara lebih luas. Kekerasan adalah situasi di mana kehidupan seseorang yang hidup dalam pemaksaan atau determinasi dari pihak lain. Bertolak dari kehidupan manusia setiap hari, kekerasan demi kekerasan seakan-akan mengalir bersama waktu. Ia seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidup manusia. Peperangan, penindasan dan kekerasan terjadi di mana-mana. Di sini penulis mengambil salah satu contoh, yakni peristiwa G30S/PKI1 . Peristiwa keji itu menjadi momok 1 Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi, Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam Masyarakat, (Ledalero: Maumere, 2005), hlm. vi viii sejarah kemanusiaan Indonesia. Gerakan ini meninggalkan kenangan pahit tentang kebiadaban manusia Indonesia yang menghabiskan nyawa sesama warganya tanpa belas kasihan, dan tanpa rasa bersalah. Pengalaman telah mengajarkan bahwa di dalam kehidupan ini ada hal-hal yang bisa diubah dan ada hal lain yang tidak bisa diubah. Tentang masa lalu, baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan, kita tidak bisa mengubahnya. Semua yang telah terjadi hanya bisa diterima dan tidak bisa diubah lagi, yang masih selalu mungkin untuk diubah adalah sikap dan cara pandang kita terhadapnya2 . Bertolak dari hal ini, tidak jauh berbeda dengan pengalaman hidup dari seorang filsuf Jerman yaitu Eric Weil. Eric Weil dalam bukunya berjudul Philosophie Politique (1956) dan Philosophie Morale (1961), dua karya ini menegaskan kepedulian dan perhatiannya pada persoalan-persoalan kemanusiaan, terutama perjuangan untuk mewujudkan kebaikan kehidupan manusia (hidup bermoral) masyarakat yang damai dan peduli terhadap pemecahan hidup bersama. Demikian juga C.B Mulyatno dalam bukunya berjudul filsafat perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil, yang mengemukakan pandangan Eric Weil salah seorang filosof yang belajar di tengah kekerasan dan selalu mengambil hikmah dari kekerasan merupakan jalan kebijaksanaan yang jauh lebih mengembangkan kehidupan dari pada sekedar meratapi apa yang telah terjadi. Eric Weil juga mengatakan bahwa ketika merefleksikan perdamain akan di perhadapkan pada kenyataan ketegangan. Di tengah berbagai konflik politik di Jerman yang tidak menentu dan berbagai bentuk kekerasan yang menimpa orang-orang keturunan Yahudi membuat Eric Weil harus pergi meninggalkan Jerman ke Paris, dan juga ia harus meninggalkan sanak-saudaranya di Jerman. Di sana ia tercatat sebagai warga Negara Perancis dan awal perang Dunia II Weil 2 C. B. Mulyatno, Filsafat Perdamaian, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 8 ix menjadi anggota pasukan Perancis yang melawan Invasi Nazi3 . Ia juga mengalami kecemasan dan ketakutan yang luar biasa terhadap ancaman kekejaman antara Nazi. Weil menyaksikan sebagian besar anggota keluarga dan sahabat-sahabatnya ditawan dan dibunuh secara kejam oleh Rezim Hitler. Berbagai persoalan kuantitas kekerasan, kejahatan dan perang yang terus mengalir dalam kehidupan mereka, seolah adalah takdir dalam hidup mereka. Kalau demikian apakah dunia masih mungkin berubah kearah yang lebih baik? Adakah masa depan dunia yang lebih baik? Adakah manusia bisa mengambil bagian hidup yang lebih secara manusiawi? Bertolak dari pengalaman yang memedihkan itu, permenungan Weil tentang apa makna filsafat (cinta kebijaksanaan) ditengah pengalaman yang ia sedang geluti. Kekejaman penjara pada masa perang Dunia II menggores nurani Weil sebagai bagian dari umat manusia yang merindukan perdamaian. Pengalaman pilu akibat kekerasan dan peperangan mendorongnya untuk memberi jawaban positif yang berdampak luas. Sesuai dengan konsep perdamaiannya, Eric Weil mengatakan bahwa bagaimana agar orang mencapai perdamaian? Weil memberi kesaksian bahwa tidak ada gunanya hanya mengeluh dan meratapi derita. Meratapi derita tanpa usaha untuk mengatasinya merupakan langkah mundur dalam hidup. Eric Weil adalah seorang filsuf yang berjuang agar filsafat memberi pencerahan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan hidup sehari-hari4 .
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity B Philosophy. Psychology. Religion > BT Doctrinal Theology |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | Tefa Frisca Yolanda |
Date Deposited: | 16 Mar 2020 01:55 |
Last Modified: | 16 Mar 2020 01:55 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2180 |
Actions (login required)
View Item |