Konsep Agama Menurut William James Dan Relevansinya Bagi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia

BRIA, Vinsensius Djebridus Ikun (2020) Konsep Agama Menurut William James Dan Relevansinya Bagi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia. Diploma thesis, Universitas Katolik Widya Mandira.

[img] Text
Abstraksi.pdf

Download (181kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (188kB)
[img] Text
BAB II.pdf

Download (247kB)
[img] Text
BAB III.pdf

Download (208kB)
[img] Text
BAB IV.pdf

Download (203kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (178kB)

Abstract

Upaya manusia untuk mengetahui kebenaran dalam kaitannya dengan relasi antara manusia dengan Sang Pencipta tidak bisa dilepaspisahkan dari agama. Praktek keagamaan merupakan hal yang khas yang hanya ada pada manusia. Agama di dalam dirinya sendiri mengajarkan kebenaran dan kebenaran itu harus diyakini dalam kaitannya dengan Sang Pencipta. Dalam kaitan dengan maksud di atas, kebenaran sebagaimana yang diketahui, secara garis besar dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yakni, kebenaran faktual dan kebenaran akali. Sumber kebenaran akali ialah akal budi dan sumber kebenaran faktual adalah pengalaman. Ada tidaknya fakta-fakta tertentu hanya dapat diketahui berdasarkan pengalaman. Apabila fakta atau kenyataan yang bersangkutan adalah fakta material, maka pengalaman yang diperlukan adalah pengalaman indrawi. Apabila kenyataan yang bersangkutan mempunyai dimensi rohani maka yang diperlukan adalah pengalaman rohani. Dan salah satu pengalaman rohani adalah pengalaman beragama, artinya, pengalaman tentang Tuhan atau tentang ‘Nan- Ilahi’. Agama sebagai rumusan kebenaran yang diperoleh dalam kesendirian manusia sanggup mengubah wataknya. Watak manusia tidak diubah karena suatu tekanan dari luar, tetapi karena ada keyakinan pribadi yang mendalam, yang berkenaan dengan masa depan dan harapan, memberikan jaminan, bahwa yang diharapkan dapat terwujud. Agama tidak mengurung manusia di dalam sebuah keamanan yang pasti, tetapi menunjukkan kepada seorang sebuah wilayah baru yang mesti dituju, menghantar orang keluar dari kepastian diri dan lingkungannya untuk mewujudkan idaman terdalam umat manusia. Perhatian secara psikologis terhadap agama sudah setua umat manusia. Sejak timbulnya kesadaran manusia, orang telah merenungkan tentang arti hidup dan keberadaannya di dunia, mengapa manusia berperilaku seperti itu, dan bagaimana arti hidup dan perilakunya dalam berhubungan dengan dunia yang ilahi, para dewa-dewi. Tetapi baru dalam tahun-tahun terakhir ini, perhatian itu dilakukan secara ilmiah yakni lewat Psikologi Agama Tokoh yang paling terkenal dari aliran pragmatisme yang melakukan studi tentang agama dari sudut pandang Psikologis dan Antropologis ialah William James. Ia menjadi terkenal pada tahun 1805-an dengan bukunya yang berjudul “The Varieties Of Religious Experience” yang mengandung empirisisme radikal yang menghasilkan penemuan tentang nuansa pluralistik dari xiii fenomena-fenomena keberagamaan. Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience ia mendefenisikan agama sebagai sesuatu yang paralel dengan pengalaman, penghayatan dan tindakan keagamaan (kerohanian) yang sifatnya unik dan personal dalam keterlibatan seseorang dengan sesuatu yang dianggapnya suci. Pengalaman agama inilah sesungguhnya hakikat manusia. Permasalahan pokok agama bukanlah; apakah Tuhan itu ada? Atau seperti apakah Tuhan itu? Akan tetapi permasalahan pentingnya adalah bagaimana Tuhan dan agama dapat membantu manusia untuk mendapatkan hidup yang baik. Di dalam bukunya, James mengutip pendapat seorang tokoh, Leuba; “ bukan Tuhan, tetapi hidup, hidup yang lebih kaya, lebih memuaskan, itulah pada akhirnya merupakan tujuan sebuah agama’. Lewat afirmasi ini James ingin menekankan humanisme yang berorientasi pada manusia. Menurutnya agama itu benar jika ide-ide yang disampaikan oleh agama itu dapat memperkaya hidup manusia dan membuat dunia ini menjadi lebih baik. Percaya kepada Tuhan menurut James harus berlangsung terus sampai kepercayaan itu menemukan kebenarannya. Jika manusia bertindak berdasarkan keyakinan itu, maka dunia ini akan menjadi lebih baik dan ini merupakan bukti yang diperlukan untuk membenarkan keyakinan agama tersebut. Perlu ada dorongan manusiawi dan ilhi untuk mencapai kemenangan dari yang baik atas yang jahat. James menaruh hakikat dan fungsi kepercayaan kepada Tuhan dan perbedaan yang disebabkan oleh keyakinan itu dalam praksis kehidupan manusia sehari-hari. Percaya kepada Tuhan merupakan hal yang rasional karena memberi kepada manusia perasaan tenang, damai dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal praktis tertentu yang dituntut oleh keyakinan tersebut. Bagi James, penyerahan diri kepada Allah diungkapkan dalam keutamaan iman, harap dan kasih. Tiga kebajikan teologal ini selanjutnya diwujudkan dalam membangun relasi dengan sesama. Dalam konteks keindonesiaan, Indonesia bukanlah negara sekuler atau negara agama melainkan negara demokrasi yang mengakui adanya agama. Peta agama-agama di Indonesia menunjukkan adanya perjumpaan antara aneka bentuk keagamaan. Ada agama suku atau agama asli dan ada aneka agama internasional. Semua agama yang ada di Indonesia hidup bersama dalam harmoni toleransi dan dialog, dan semua – dalam bentuk bagaimanapun mengalami pengaruh satu dari yang lain. Agama-agama di Indonesia hidup dan berkembang dalam hubungan (dan terkadang dalam konfrontasi) satu dengan yang lain. Pengaruh tersebut biasanya xiv tidak langsung, melainkan berjalan melalui bahasa dan kebudayaan bersama. Dengan demikian banyak istilah dan rumusan dari agama yang satu juga dipakai dalam agama yang lain, tetapi sering dengan arti dan maksud yang berbeda. Adapun agama-agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia saat era reformasi sekarang ini adalah agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hu Tzu. Agama yang terakhir inilah yang merupakan buah dari era reformasi pada masa pemerintahan Gus Dur. Indonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana masyarakat dengan beragam etnik (multikultur) dan agama (multiagama) bisa hidup rukun dengan tanpa memunculkan masalah yang berarti dalam jangka waktu yang cukup lama. Penilaian seperti ini mungkin benar jika melihat potret masyarakat Indonesia pada umumnya yang mementingkan harmoni dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi akan perbedaan di antara mereka. Kendati demikian, penilaian seperti itu tidak sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan juga kerap mengalami konflik yang berlatar belakang agama. Konflik yang dilatarbelakangi oleh agama ini juga muncul dari dua sisi, dari dalam diri agama dan juga dari luar agama. Konflik yang lahir dari dalam diri agama ialah konflik berlandaskan pada paham radikalisme, fundamentalisme dan memuncak pada ekstrimisme termasuk terorisme. Sedangkan konflik dari luar agama ialah agama diturunkan martabatnya hanya sebagai alat dan bukan sebagai sesuatu yang sakral atau suci. Hal ini terjadi sebab agama dilihat sebagai alat pemuas dan pemenuh nafsu dari pengikutnya atau manusia agama itu sendiri seperti contoh agama akan menjadi alat politik untuk meraup suara di tahun politik dan yang berbahaya dari hal ini ialah dikotomi pemisahan aku dan yang lain atau pengkerdilan makna sesama yang dimengerti sebagai sesama agama dan bukan sesama manusia. Selain itu, konflikkonflik bernuansa agama yang ada nampaknya muncul karena rasa perbedaan dalam hal pemelukan agama dan bahkan rasa permusuhan karena perbedaan agama yang berkembang bukan saja di kalangan mereka yang mengalami konflik melainkan juga di antara mereka para pemeluk agama pada umumnya. Konflik secara sederhana dapat dipahami sebagai adanya hubungan yang tidak selaras atau kurang sepamahaman di antara dua pihak atau lebih (baik perseorang maupun kelompok) yang memiliki tujuan yang berbeda. xv Dengan bercermin pada realitas kehidupan beragama di Indonesia, esensi dari agama juga beserta pengikut agama sedang dipertanyakan, apakah agama mengajarkan pengikutnya untuk menjadi fanatik tanpa terbuka dengan kenyataan diluar agamanya atau agama justru diperalat oleh elit atau golongan tertentu untuk mencari keuntungan? Disinilah titik permasalahannya, terkadang manusia beragama menjadi tidak stabil ataukah manusia beragama jatuh dalam fase ketidaksehatan atau yang disebut James sebagai tipe sakit jiwa. Tipe sakit jiwa adalah orang yang meyakini dan melaksanakan agama tidak berdasarkan kematangan beragama yang berkembang secara perlahan sejak masa kecil hingga dewasa. Dapat terjadi orang menjadi beragama karena suatu penderitaan misalnya konflik batin sehingga iman akan agama yang dipeluknya tidak mendalam. Orang yang sakit jiwa cenderung memaknai dan menjalani agamanya secara sempit dan eksklusif. Sedangkan tipe orang yang sehat jiwa dalam beragama ialah mereka yang memiliki sikap keagamaan yang positif atau optimis dan gembira dalam menjalani hidup. Dalam hal ini, orang yang sehat jiwanya dalam beragama lebih mengerahkan diri keluar dimana ia melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan untuk meringankan beban penderitaan orang lain. Lebih khusus, orang yang sehat beragama lebih terbuka kepada relasi dengan yang lain baik di dalam agamanya maupun keluar agamanya. Berkaitan dengan pemikiran James tentang agama yang merupakan reaksi total manusia atas kehidupan tentunya menitikberatkan pada orang yang sehat jiwa dalam beragama sebab memiliki kedalaman dalam hal beriman. Orang yang sehat jiwa yang terbuka lebih menjunjung dan menghargai realitas yang plural dan bukan monistis atau hanya mengedepankan dimensi keagamaannya sendiri. Di samping itu dalam diri orang yang sehat jiwa akan terdapat sentimen religius, konversi dan kesalehan yang nyata dalam diri (personal), emosionalitas dan keanekaragaman. Hal ini berarti orang yang sehat jiwa akan lebih menghargai perbedaan atau keanegaragaman dalam realitas. Dengan demikian kerukunan antarumat beragama dapat tercapai dan terwujud. Jika dihubungkan dengan kerukunan beragama, manusia Indonesia yang tentu memiliki keragaman yang ada didalamnya termasuk keragaman agama maka secara tidak langsung dituntut untuk hidup rukun sebagai saudara dengan beragama secara sehat jiwa yang dapat menghasilkan suatu sikap beragama yang matang dan mengedepankan toleransi beragama. Hal ini akan tercapai jika memiliki sikap beragama yang sehat dan dipertegas dengan dialog antar agama.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
B Philosophy. Psychology. Religion > BL Religion
B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
B Philosophy. Psychology. Religion > BV Practical Theology > BV1460 Religious Education
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: S.Kom Sela Mikado
Date Deposited: 24 Oct 2020 02:39
Last Modified: 24 Oct 2020 02:39
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/3556

Actions (login required)

View Item View Item