Konsep Wajah Perspektif Emmanuel Levinas Dan Relevansinya Dalam Pencarian Wajah Allah Bagi Seorang Calon Imam Katolik

KANAF, Gregorio A. Madya (2020) Konsep Wajah Perspektif Emmanuel Levinas Dan Relevansinya Dalam Pencarian Wajah Allah Bagi Seorang Calon Imam Katolik. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

[img] Text
ABSTRAKSI.pdf

Download (195kB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (178kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (295kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (228kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (390kB)
[img] Text
BAB V.pdf

Download (193kB)

Abstract

Manusia tak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain di dalam kehidupannya. Kenyataan ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu bergantung pada yang lain. Kebergantungannya menjadikan manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk menegaskan eksistensinya. Jozef Pieniazek sebagaimana dikutip Felix Baghi,mengemukakan hal ini dengan mengatakan bahwa manusia menjadi manusia melalui manusia yang lain. Kenyataan bahwa manusia selalu bergantung pada manusia lainnya itu sekaligus juga menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial berarti manusia harus mengadakan komunikasi, membuka diri, dan menyerahkan diri sendiri kepada sesamanya. Manusia wajib melakukan hal ini sebab ia hanya bisa berkembang dan menemukan jati dirinya, jika ia mampu untuk berelasi dengan orang lain. Relasi yang dibangun oleh manusia dengan sesamanya sebagai perwujudan dimensi sosialnya adalah suatu keharusan dalam kehidupan ini. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain untuk melengkapi dan menyempurnakan keakuannya. Relasi antar manusia harus berdasarkan suatu itikad baik dan saling menghargai martabat dari masing-masing pihak. Penghargaan atas martabat manusia adalah suatu bentuk tanggungjawab seseorang atas hidup yang diterimanya dari Tuhan. Di sini, seorang manusia terpanggil untuk menyempurnakan hidupnya dengan memandang satu sama lain sebagai sesamanya. Tanpa penghargaan atas martabat hidup manusia, relasi itu sendiri akan menjadi pincang, penuh dengan kemunafikan dan jauh dari rasa damai. Berbicara tentang relasi antara manusia dengan sesamanya, Emmanuel Levinas, seorang filsuf kelahiran Lithuania, ari keluarga Yahudi memberikan suatu pandangan yang baik dalam filsafatnya. Ia memulai filsafatnya dengan berfokus pada bagaimana membuka diri secara mendasar pada pertemuan dengan sesama dalam proses menjadi diri setiap orang. Bagi Levinas, di dalam perjumpaan dan relasi dengan orang lain, aku tidak dapat memulai dari diriku. Hal ini dikarenakan dengan memulai dari diriku, aku memulai dari totalitas yang kumiliki. Untuk memahami yang lain yang berjumpa dan berelasi dengan saya, harus dimulai dari yang lain itu, dari dunianya, yaitu dari keberlainan itu sendiri. Perjumpaan atau relasi dengan orang lain menurut Levinas terjadi lewat wajah. Bagi Levinas, Wajah merupakan situasi di mana di depan kita ada orang muncul. Wajah merupakan kehadiran orang lain sebagai yang lain, orang lain menurut keberlainannya. Penampakan wajah bukanlah fenomena fisis-psikologis melainkan sebuah fenomena etis. Wajah tampak “melampaui” dimensi-dimensi fisik karena wajah “hadir dalam penolakan atau resistensinya untuk ditundukan”. Wajah, dalam pemikiran filosofis Levinas memiliki aspek-aspek sebagai berikut: wajah itu telanjang, wajah selalu hadir tanpa konteks, wajah hadir tanpa pengantara, dan wajah merupakan jejak Allah. Dalam relasi dengan sesama yang terjadi melalui wajah, kita juga menghadapi Yang Lain sama sekali, yaitu Tuhan. Hal ini dikarenakan dimensi Ilahi membuka diri dalam wajah Yang Lain. Tetapi, hal ini tidak berlangsung dalam taraf pengenalan teoretis, melainkan dalam konteks etis. Tuhan hadir ketika kita mampu berelasi dengan sesama yang tampak melalui wajah, dengan cara mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada mereka. Tuhan dalam pemikrian filosofis Levinas tidak dilihat sebagai sebuah “Norma Absolut” melainkan Dia yang adalah keberlainan mutlak, yang terwahyu dalam Wajah, dalam suatu perjumpaan wajah ke wajah dengan Orang Lain. Pewahyuan itu tergantung pada suatu “Hukum Etik Absolut”, yang tidak dialami sebagai sebuah perbudakan, melainkan sebuah ketaatan pada Yang Maha Tinggi dalam sebuah relasi etis dengan Orang Lain. Tuhan juga tak dapat dipahami tanpa relasi dengan Yang Lain yang tampil sebagai wajah. Transendensi Allah hanya dapat dialami lewat relasi dengan sesama yang lain. Wajah, dalam epifaninya, di satu pihak memanifestasikan universalitas kemanusiaan, dan di pihak lain memperlihatkan esensinya sebagai tempat Wahyu Yang Mahatinggi. Semua wajah adalah Dia, karena itu Dia tidak mempunyai wajah. Epifani sebagai jejak Allah adalah sebuah enigma. Menjumpai wajah berarti menjumpai sebuah enigma. “...Engkau tidak tahan memandang wajahku, sebab tidak ada orang yang memandang wajah-Ku dapat hidup.... wajah-Ku tidak akan kelihatan” (Kel. 33:20-23). Manusia tidak akan pernah memandang Allah dari muka ke muka karena memandang Allah dari muka ke muka berarti suatu kematian baginya. Allah pada dasarnya tidak dapat dijumpai dari wajah ke wajah. Oleh karena itu, melalui wajah Yang Lainlah Allah bisa dialami secara langsung dan personal. Pengalaman akan Allah juga dijumpai dalam tindakan keadilan. Tuhan hadir bagi saya sejauh saya mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Konsekuensinya yakni, relasi dengan Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan relasi etis dengan sesama. Relasi itu terejawantahkan dalam relasi Aku dengan Yang Lain dalam masyarakat di mana si Aku bertangung jawab terhadap Yang Lain. Dalam pendidikan calon imam, seorang calon imam diajak untuk mampu mencari dan menemukan Allah bukan saja dalam doa-doa dan kontemplasi, tetapi juga dalam relasi dengan sesama. Sesama yang hadir dalam penderitaan dan kemiskinan, membuat seorang calon imam harus bertindak dan bertanggung jawab terhadap sesamanya itu. Pemikiran Levinas tentang wajah menjadi suatu sumbangan yang baik bagi seorang calon imam. Dengan memahaminya, seorang calon imam dapat belajar untuk mampu memiliki relasi yang baik dengan sesama di dalam tempat pembinaan dengan cara menerima sesama dalam keberlainan yang dimiliki. Hal ini merupakan suatu bentuk pembinaan dan pembiasaan, agar kelak ketika berada di tengah umat, seorang calon imam mampu untuk membangun relasi yang baik dengan umat yang dilayani. Relasi yang baik dengan sesama ini pada akhirnya menghantarkan seorang calon imam untuk mengalami dan menemukan Allah.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BC Logic
B Philosophy. Psychology. Religion > BL Religion
B Philosophy. Psychology. Religion > BS The Bible
B Philosophy. Psychology. Religion > BT Doctrinal Theology
Divisions: Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat
Depositing User: SH Yakobus Naben
Date Deposited: 17 Dec 2021 00:57
Last Modified: 17 Dec 2021 00:57
URI: http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/4852

Actions (login required)

View Item View Item