MILIK, Isiodorus Hardiman (2018) Makna Kerja Menurut Pandangan Masyarakat Dawan Di Desa Bokong Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang. Diploma thesis, Unika Widya Mandira.
Text
ABSTRAK.pdf Download (416kB) |
|
Text
BAB I.pdf Download (404kB) |
|
Text
BAB II.pdf Download (412kB) |
|
Text
BAB III.pdf Download (507kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Download (429kB) |
|
Text
BAB V.pdf Download (284kB) |
Abstract
Fenomena aktual dunia kerja saat ini nyatanya telah meredusir esensi dan eksistensi manusia dalam bekerja. Kerja yang seharusnya sebagai bentuk pemanusiaan manusia atas kecakapan, kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya kini berganti menjadi kerja hanya untuk kepentingan ekonomis (economic oriented). Manusia menjadi tidak bebas atas dirinya, tunduk pada kepentingan pemodal yang bertujuan untuk mengejar keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya sedikit mungkin. Bahkan, dengan tujuan eksploitatif, dimensi keunikan manusia menjadi teredusir oleh tuntutan kapitalisasi yang bermuatan dengan sistem aturan hingga sampai pada bentuk represif. Konsekuensinya, multi dimensionalitas manusia diredusir menjadi hanya dalam satu dimensi sebagai pekerja. Dengan adanya perkembangan teknologi yang berekspansi ke dalam sistem penguasaan dan koordinasi menciptakan bentuk-bentuk kehidupan dan kekuasaan yang tunduk pada sistem penguasaan atas manusia dan tenaganya. Kapitalisasi dengan tujuan memperkaya segelintir orang, bertujuan pada eksploitasi masif manusia dan tenaganya dalam bekerja. Fakta eksploitasi manusia atas manusia dengan tujuan ekonomis dengan mengatasnamakan pembukaan lapangan kerja dan memberi pekerjaan bagi angkatan kerja ternyata bertolak belakang dengan tujuan menghadirkan kebaikan besar bagi banyak orang (the greatest happiness for the greatest number people), maraknya kasus perdagangan manusia berskala lokal hingga global membuktikan bahwa kerja dalam konteks aktual cenderung eksploitatif, misalnya saja Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak 7 tahun 2014 hingga sekarang ditetapkan sebagai Provinsi Darurat Perdagangan Manusia (human trafficking). Manusia dalam kehidupan dan perwujudan dirinya berada dalam suatu realitas sosial yang mempunyai tatanan-tatanan baku sebagai suatu aturan (regula) yang mengatur proses pemanusiaannya. Kerja menjadi suatu bentuk perwujudan diri manusia dalam lingkup sosialnya, hanya dapat mewujud berkat adanya suatu pemahaman dasariah tentang apa itu kerja. Dengan memahami defenisi kerja yang benar dan terpilah, seorang pekerja akan melakukan pekerjaannya dengan kesadaran penuh sebagai pekerja. Pemahaman yang berada dalam nalar manusia kemudian diaktualisasikan dalam kehidupannya. Pemahaman ini adalah wujud pengetahuan yang semestinya dimengerti dengan baik dan benar. Pengenalan yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat akan membimbing dirinya sendiri untuk tahu diri dan sadar diri akan kekuatan dan kelemahan pengetahuan itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat Dawan, kerja merupakan suatu keharusan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kerja adalah bagian integral dari hidup, tanpa bekerja maka tidak ada kehidupan-tidak ada makanan. Dalam hal pekerjaan, sebagian besar masyarakat Dawan menghidupi dirinya dari bertani, bercocok tanam dan beternak. Penghayatan akan kerja termaktub dalam kehendak keras dari masyarakat Dawan-atau dalam istilah yang khas dari berbagai literatur masyarakat Dawan disapa Atoni-untuk mengolah lahan dan areal perkebunannya yang meskipun bertopografi berbukit-bukit dengan jenis tanah liat dan iklim kering yang lebih panjang akan tetapi mampu menghasilkan berbagai tanaman pangan dan holtikultura untuk kelanjutan hidup keluarga. Alam yang keras mengharuskan masyarakat Dawan untuk mengusahakan hidupnya dengan sungguh-sungguh, membanting-tulang demi mendapatkan sesuap nasi dengan bekerja sebagai petani atau pun pekerjaan lainnya yang halal adalah keharusan demi memperpanjang nafas kehidupan. Dalam kamus kehidupan 8 masyarakat Dawan tidak mentolerir adanya pencurian untuk menyambung hidup. Sejatinya masyarakat Dawan berusaha mewujudkan jati dirinya sebagai manusia bermartabat dengan makan dari hasil keringat sendiri. Adanya kasus pencurian dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan konsekuensi dari pengingkaran terhadap jati diri subjek (pelaku pencurian) sebagai manusia juga karena ketidaksanggupan subjek untuk berusaha atau dengan kata lain faktor kemalasan serta ketidakmampuan untuk memaksimalkan potensi dalam dirinya untuk menghasilkan produk kehidupan yang dapat menopang perjalanan hidup. Bagi masyarakat Dawan, makna kerja tercurah dalam kemampuan untuk mengkatualisasikan diri dalam relasi kehidupan sosial sehingga mampu menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi diri dan sesama. Mental kerjasama terbentuk dengan mengacu pada faktor keterikatan asal-usul. Masyarakat Dawan mengafirmasi suatu bentuk kerjasama sebagai kebutuhan sebab berada dalam suatu ikatan teritorial yang sama. Kerja sebagai suatu keharusan demi hidup yang lebih baik mengharuskan masyarakat Dawan untuk terus menyesuaikan diri dengan pekerjaan seturut perkembangan jaman. Sejak dahulu kala masyarakat Dawan telah berusaha keras untuk menghidupi diri dan hidupnya berhadapan dengan kondisi alam yang keras. Walau, proses adaptatif dalam kehidupan juga turut mendistorsi makna dari kerja seturut filosofi hidup orang Dawan. Masyarakat Dawan tidak lagi menghidupi kerja sebagaimana seharusnya, yakni melalui proses yang panjang dan dengan usaha yang tidak sekejap. Apalagi, kondisi sosial-politik turut menyulitkan bagi sebagian besar masyarakat Dawan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak demi menghidupi keluarga. Konsekuensinya, banyak yang memilih untuk bekerja di luar daerah atau pun luar negeri untuk mendapatkan ‘hidup yang lebih baik’ tapi malah mendapat derita berkepanjangan karena terus mengalami eksploitasi. Bahkan, ada yang harus kehilangan nyawanya karena memilih untuk bekerja di luar negeri. 9 Masyarakat Dawan di Desa Bokong, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, adalah sekelompok masyarakat Dawan yang berasal dari daerah Amfoang dan masuk dalam wilayah Amarasi. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Dawan di Desa Bokong sebagian besar berprofesi sebagai petani dan peternak. Dalam keseharian, kerja adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat di desa ini. Bagi masyarakat Desa Bokong tanpa bekerja mereka tidak dapat memberikan jaminan bagi masa depan, akan tetapi kerja sebagai suatu upaya pemenuhan hidup dan perwujudan diri kian mengalami pergeseran pemaknaan yang menyata dalam pewujudnyataan dari kerja itu sendiri. Kebanyakan orang dengan usia angkatan kerja di Desa Bokong memilih untuk bekerja di luar negeri, karena tanah dan air tempat mereka hidup seolah- olah tidak memberikan jaminan bagi masa depan mereka. Masifnya migrasi ke luar negeri juga berdampak pada pendapatan yang cukup secara posistif, akan tetapi di sisi lain, sumber daya alam: tanah dan air menjadi terbengkalai karena tidak terkelola secara baik. Kondisi ini diperparah dengan efek lanjutan dalam bentuk; anak-anak yang mengalami ketiadaan pengasuhan sehingga berdampak pada proses belajar dan pertumbuhan mereka ke depan. Kondisi ini memungkinkan migrasi gelombang ke dua dari anak-anak buruh migran ke depan. Bukan tidak mungkin, mereka ini akan menjadi korban dari perdagangan orang seperti yang telah dialami oleh orang tua mereka. Dengan demikian, jumlah korban yang mengalami eksploitasi bahkan sampai kehilangan nyawa akan terus bertambah dari tahun ke tahun. 4.1 Bentuk-Bentuk Kerja dalam Masyarakat Dawan Umumnya masyarakat Dawan bekerja sebagai petani entah sebagai petani ladang atau sawah dan sebagai peternak. Setelah mengenal konsep filosofis dan bentuk pekerjaan yang dilakoni masyarakat Dawan, maka penting untuk membahas, objek yang menjadi sumber sekaligus yang memiliki peranan dalam 10 menjamin keberlangsungan pekerjaan masyarakat Dawan, yakni bentuk-bentuk nyata pekerjaan yang dilakoni oleh masyarakat Dawan di Desa Bokong. 4.4 Bertani (tkiu pah nasi) Dalam bertani konsep filosofis dan makna kerja menyata dalam bentuk partisipasi aktif untuk membuka ladang baru dengan mengajak kerabat untuk membuka kebun atau ‘nono’.1 Pola bertani masyarakat Dawan masih sederhana, setelah menanam, membiarkan benih tanaman tumbuh, menyiangi tanaman dari gulma dan rumput, diberikan pupuk sekadarnya hingga tiba masa panen. Ladang di wilayah masyarakat Dawan terutama Bokong diusahakan agar mempunyai pagar agar terhindar dari serbuan binatang besar. Untuk itu, membutuhkan tenaga dan biaya yang cukup, maka ukuran lahan turut menjadi pertimbangan. Kerjasama dimulai dari membuka lahan, menyiapkan lahan, mengolah tanah, menanam, membentuk pagar hingga masa panenan. Siklus kerja ini berlangsung dalam hubungan kekerabatan dalam satu ‘kanaf’ atau marga atau keturunan karena masyarakat Dawan dengan satu ‘kanaf’ cenderung tinggal dalam satu ‘kuan’ atau kampung. Konstruksi relasi dalam wadah kekerabatan bertolak dari hubungan darah langsung, hubungan melalui perkawinan dan hubungan atas dasar kesamaan pikiran dan kehendak.2 Selain bangunan kekerabatan yang melandasi hubungan kerja ada pula bentuk kerjasama dengan pihak sesama masyarakat Dawan yang hendak membuka kebun yang besar, atau dengan alasan sakit yang parah, mekanisme yang dipakai adalah cara kerja “na’o ‘en” atau sistem kerja menyewa.3 Mekanisme penyewaan berdasar pada prinsip ‘tmeup tabua nekaf mese ansaof mese’ dan berjalan dalam patokan ‘tmeup on ata, tha on usif.’ Falsafah ini menjadi dasar sekaligus mengikat agar tidak terjadi penghisapan di antara sesama masyarakat Dawan. 1 Mubyarto, Loekman Soetrisno, Edhie Djatmiko, Sulistiyo, Ita Setiawati, Agnes Mawarni, Ninik Sri Rejeki, Op. Cit, hlm. 161. 2 Hendrik Ataupah, Op. Cit, hlm. 376. 3 P. Piet Manehat, SVD, MA, P Drs. Gregor Neonbasu, Drs, Eman Ellu, Op. Cit. hlm. 142. 11 Dalam mengusahakan lahannya masyarakat Dawan umumnya menamam jagung sebagai makanan pokok dalam setahun, lalu dalam lahan turut ditanami pula, kacang-kacangan dan umbi-umbian sebagai pelengkap tambahan makanan jagung. Kerja tani yang dilakukan masyarakat Dawan berlangsung dalam pola sbb:4 Oktober : Menyiapkan lahan yang akan ditanami; November - Desember : Mulai tanam jagung; setelah jagung cukup tinggi dilanjutkan dengan tanaman kacang panjang, kacang merah, kacang tanah, ubi kayu dan labu; Januari - Februari : Ladang disiangi, rumput liar dicabut dengan tofa; Awal Maret : Jagung muda mulai dipanen; April - Mei : Jagung umur panjang dipanen; Juni – Juli : Hari istirahat. Pesta adat diadakan. Dengan siklus model kerja yang berlangsung teratur dan tahapan yang dijalankan secara baik masyarakat Dawan percaya bahwa usahanya harus disertai dengan perantaraan yang kuasa, maka dalam mengusahakan ladangnya, terdapat ritus-ritus adat yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dari Uis Neno5 agar mampu menghasilkan hasil yang cukup, makanan yang baik, hingga dapat bertahan sepanjang satu tahun. Model kerja ini berlangsung dalam terang ‘tmeup tabua nekaf mese ansaof mese’ dan berjalan dalam patokan ‘tmeup on ata, tha on usif.’ Mengenai ritus dalam bertani akan dijelaskan lebih detail pada bagian berikut. 4 Mubyarto, Loekman Soetrisno, Edhie Djatmiko, Sulistiyo, Ita Setiawati, Agnes Mawarni, Ninik Sri Rejeki, Op. Cit. 5 Wawancara dengan Markus Atimeta (77), 14, Desember 2017. 12 4.5 Bersawah Dalam bersawah konsep filosofis dan makna kerja menyata dalam bentuk partisipasi aktif untuk membuka sawah baru dengan mengajak kerabat dan handai taulan. Kerja di sawah dimulai dengan menata dan menggali saluran air atau selokan atau ‘khain hanu’ sebagai penyedia pasokan air selama masa tanam sampai panen. Model kerja ini diakhiri dengan suatu upacara ritus tarik air atau ‘tael oe.’6 Tujuan ritus ini yakni melancarkan aliran air sekaligus sebagai upacara pendinginan semua perangkat kerja yang dipakai selama masa proses persiapan sawah. Perangkat kerja yang dipakai berupa linggis atau ‘pali’, parang atau ‘benas’ pacul atau ‘fani.’ Dalam proses pengerjaan sawah terdapat pula dimensi kerja sama yang relevan dengan ‘hael aen oek’ atau rencah sawah, maksudnya ternak sapi atau kerbau milik keluarga dipakai sebagai pengganti traktor yang merecah dan menggemburkan tanah yang akan ditanami padi. Saat bekerja, keluarga pemilik ladang akan menjamu dan melayani para pekerja dengan baik dalam rupa makan minum yang sudah disediakan. Tuan rumah atau pemilik sawah berperan sebagai penjamu-proses masak, sampai saji dilakukan bersama-sama semua yang terlibat dalam aktivitas itu. Kenyataan ini membuktikan bahwa konsep ‘tmeup tabua’ atau kerja bersama telah mewujud dalam gerakan nyata dimulai dari salah satu unsur pokok yakni makan. Ketika tiba masa panen atau ‘hael ane’ terdapat pula bentuk kegiatan petik padi atau ‘heut ane’ dengan cara berkelompok dan bersama-sama sebagai wujud kekerabatan dan keterjalinan hubungan yang harmonir di antara orang Meto. 4.1.2.1 Beternak Dalam berternak konsep filosofis dan makna kerja turut menjiwai dan menyata dalam kehidupan masyarakat Dawan. Orang Meto turut memelihara 6 P. Piet Manehat, SVD, MA, P Drs. Gregor Neonbasu, Drs, Eman Ellu, Loc. Cit. 13 berbagai ternak besar, seperti: sapi, kuda dan kerbau-ternak kecil, seperti: ayam dan bebek. Bagi masyarakat Dawan ternak merupakan salah satu sumber penghasilan ekonomi sekaligus sebagai salah satu peneguhan status sosial kemasyarakatan. Dengan memiliki ternak dengan jumlah yang banyak seorang Meto akan memiliki status sosial serta wibawa yang cukup di tengah masyarakat. Keadaan ini digambarkan dalam ungkapan; ‘moin tok mui, tabua tok ma muit’7 yang hidup bersama dalam susah, hidup bersama pula dalam senang.’ Demi menjaga kelangsungan hidup ternaknya, setia ‘kanaf’ atau marga selalu memberi ciri atau tanda khusus pada ternaknya, yang hidup di padang gembalaan. Pada ternak babi dan kambing, diberi tanda pada salah satu telinganya-cara penandaan ini disebut ‘hetes’8 sementara pada ternak sapi atau kerbau atau kuda tanda diletakan pada telinga dan pangkal paha belakang yang disebut malak. Tujuan pemberian tanda ini untuk membedakan ternak milik setiap ‘kanaf’ karna setiap ‘kanaf’ juga mempunyai istilah khusus untuk menggambarkannya. Pada tingkatan yang lebih lanjut, penandaan ini bertujuan agar tidak terjadi saling klaim dari yang bukan pemiliknya antar desa atau antar suku; utamanya menghindari pencurian. Sejak masa penjajahan, selain cendana yang menjadi primadona pulau Timor, ternak-ternak besar juga merupakan salah satu komoditi yang diincar oleh para pedagang dari Cina, hingga mereka berani masuk ke pedalaman Timor, melakukan kontak dengan penduduk asli dan menjalankan praktek perdagangan.9 Masyarakat Dawan Masyarakat Dawan lebih tepat disebut sebagai orang Meto karena istilah orang Meto merupakan terjemahan istilah Atoin Meto dalam bahasa Dawan ke 7 Drs. Wilhelmus Foni, M.Si, Budaya Bertani Atoni Pah Meto, Op. Cit, hlm. 67. 8 Ibid, 68. 9 I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, (Jakarta: KITLV- Djambatan, 2002), hlm. 223. 14 dalam bahasa Indonesia; istilah orang Atoni tidak digunakan karena marga bangsa itu tidak menamakan diri orang Atoni dan suku bangsa mereka tidak dinamakan suku bangsa Atoni; dan istilah-istilah Atoni Meto dan Atoni Pah Meto tidak digunakan karena alasan tata bahasa dan alasan konseptual. Dalam filosofi masyarakat Dawan, terdapat dua falsafah tentang kerja, yakni; I. ‘Tmeup tabua nekaf mese ansao mese’ Artinya ‘bekerja sama sehati-sejiwa.’ Falsafah ini mengungkapkan kualitas pemaknaan atas kerja yang melibatkan keutuhan jiwa dan badan dengan berdiri di atas bangunan solidaritas antar sesama manusia. Kualifikasi dalam bekerja sesuai dengan falsafah ini menuntut masyarakat Dawan untuk tidak mengharap jasa dan menghitung untung rugi dalam berbagi terhadap sesama. Hubungan kekerabatan yang dibangun dapat berdasarkan pertalian darah, ikatan perkawinan dan jalinan persahabatan. Kekerabatan yang dibangun dalam bingaki persahabatan merupakan bentuk kekerabatan yang sifatnya kejiwaan. Masyarakat Dawan menggunakan hubungan kekerabatan jiwa ini; menumbuhkan dan merawatnya untuk bisa bermukim di wilayah yang lain. Walau sifatnya fiktif, jenis hubungan ini dapat mempererat batin masyarakat Dawan dan sejumlah orang yang bekerjasama dalam suatu wilayah yang sama. Falsafah ini merumuskan suatu bentuk intensitas kerjasama dalam masyarakat Dawan yang dibangun berdasarkan keakraban dan kekeluargaan sebagai fundamen kerjasama antar masyarakat Dawan. Penegasan bahwa kerjasama merupakan bagian pokok dalam masyarakat Dawan, secara literer dengan digunakannya kata ‘nekaf’ dan ‘ansao’ yang berarti hati dan pikiran. Dengan digunakan kata-kata ini, perwujudan kerjasama berdiri pada unsur-unsur kehidupan manusia yang paling mendasar, yakni hati dan pikiran. Falsafah ini seharusnya menjadi pegangan hidup bagi setiap masyarakat Dawan dalam bekerja atau ‘tmeup.’ 15 Konsep kerjasama dalam masyarakat Dawan yang berbunyi ‘tmeup tabua’ merupakan gagasan yang berdiri dan berdasar pada sendi-sendi dan prinsip dasar (arkhe) hidup manusia yang paling mendasar. Konsep ini menjadi penggerak secara batiniah bagi masyarakat Dawan untuk mengusahakan kehidupannya dengan bersama-sama saling menopang untuk menciptakan kehidupan dalam sebuah tatanan yang lebih bermartabat. Implikasinya, konsep ini hendaknya ditempatkan sebagai titik akhir dari hidup masyarakat Dawan. Titik akhir ini harus diaktualisasi dalam kehidupan masyarakat Dawan sehingga menjadi akrab dan dekat dengan keseharian masyarakat Dawan dari generasi ke generasi. Dalam perspektif sosio kultural, konsep ‘tmeup tabua’ merupakan modal berharga bagi kehidupan masyarakat Dawan dalam relasi sosialnya, sebab sebagai manusia, masyarakat Dawan bukan saja makhluk individual tetapi sekaligus adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial falsafah ini, ‘hit tmeup tabua nekaf mese ansaof mese, het moinka naleok’ yang artinya ‘kita bekerjasama sehati-sejiwa, agar dapat hidup baik’ menjadi motivasi dan intensi dalam setiap bentuk kerja yang berhubungan dengan masyarakat Dawan untuk mendorong dirinya bekerja secara keras demi suatu hidup yang lebih baik. II. ‘Tmeup on ata, tha on usif’ Artinya ‘kerja seperti hamba, makan seperti raja.’ Falsafah ini secara tegas mau mengungkapkan bahwasanya dalam bekerja seorang masyarakat Dawan harusnya bekerja dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. Segala daya-upaya dan tenaga dikeluarkan semaksimal mungkin demi menjamin hasil yang baik pula. Hasil yang baik dan sukses akan dinikmati dan disyukuri sebagai berkat atas usaha yang keras dan serius. Selain itu, falsafah ini juga mengungkapkan bagaimana seorang masyarakat Dawan menempatkan diri dalam situasi kerja, ia harus tahu kapan bekerja dan kapan akan menikmatinya serta bagaimana menikmati hasil kerja kerasnya itu. 16 Kerja sebagai kerja menurut masyarakat Dawan adalah bentuk pengungkapan diri. Kerja dengan sungguh dan dengan bekerja secara sungguh akan membuktikan jati diri sebenarnya. Bila ditilik ungkapan ‘kerja seperti hamba’ bukan berarti bahwa orang Dawan mau saja diperbudak atau diperalat demi mencapai tujuan dari orang lain. Kerja seperti hamba bermakna pernyataan diri yang total dan sungguh sebagai hamba yang setia mengerjakan tugasnya, sebab ia tahu konsekuensi dari kerja dengan kesungguhan hati. Konsep filosofis tentang kerja dalam pandangan pemikir Barat, maupun yang hidup dalam falsafah masyarakat Dawan dapat bertemu dalam satu aras, yakni menghargai independensi dan otonomi manusia dalam bekerja. Konsep filosofi berusaha membuka selubung pemikiran dan okupasi pemodal yang dengan rakus meningkatkan kapital dengan cara mengeruk tenaga para pekerja atau bahkan menciptakan ketergantungan dengan memproduksi bibit tanaman hibrida yang sekali pakai atau menciptakan utang yang melilit. Orientasi pemodal akan penambahan modal dengan biaya yang sedikit mungkin, patut dicurigai sebagai bentuk penindasan terselebung berkedok pekerjaan yang layak. Realitas di atas dapat dipahami dengan seksama dalam terang pembedahan teoritis filosofis. Maka, konsep filosofis hadir untuk menyingkap carut-marut tendensi kapitalisasi dan membongkar pemahaman bahwasanya dengan tunduk terhadap ekspansi kapital, dan tidak mau berusaha untuk berdiri di atas kaki sendiri, pekerja akan terus mengalami eksploitasi bahkan penghisapan, hanya untuk memenuhi ‘nafsu berkuasa’ para pemilik modal yang hadir dalam wujud tawaran pekerjaan dengan iming upah tinggi, jaminan bekerja di luar negeri atau ilusi tentang memperbaiki nasib dengan turut bekerja dalam sistem yang secara inheren sudah bobrok. Penguatan kembali secara sistemik pada unsur substansial mutlak dilakukan. Kembali ke alam dan menghidupi budaya tradisional yang kuat dan mandiri adalah pilihan. Konstruksi pengetahuan sejak dalam diri yang kemudian membentuk masyarakat dengan melahirkan suatu aksi revolutif yang mengarah pada kebaikan bersama adalah ideal yang harus diperjuangkan sepanjang hidup 17 manusia. Tesis dasar ini menegaskan bahwasanya manusia tidak dilahirkan sebagai individu. Manusia terbentuk karena proses historis dan perjumpaan dengan setiap pengalaman dalam masyarakat. Sehingga, unit terdasar dalam masyarakat bukanlah individu melainkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat butuh diperbaharui dengan bangunan konseptual yang berdaya praksis. Sebuah teori yang bermaksud praksis. Landasan konsepsional yang mampu mengarahkan pada gerakan nyata dalam membongkar selubung kekuasaan yang menindas atau mengarak pada kebaikan bersama semua komponen dengan turut membangun dan menopang satu dengan yang lain. Untuk itu, individu-personal butuh pemahaman dan kesetian mengakrabi setiap realitas yang terpampang agar mampu memberi dengan terlebih dahulu telah terpenuhi secara gagagasan.
Item Type: | Thesis (Diploma) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BF Psychology G Geography. Anthropology. Recreation > GT Manners and customs |
Divisions: | Fakultas Filsafat > Program Studi Ilmu Filsafat |
Depositing User: | Osa Yumida |
Date Deposited: | 11 Mar 2020 01:32 |
Last Modified: | 11 Mar 2020 01:32 |
URI: | http://repository.unwira.ac.id/id/eprint/2140 |
Actions (login required)
View Item |